Rabu, 08 Juni 2016

[CERBER] DUNIA FIKSI 2



KELANJUTAN DF1...

Kantor hari itu sibuknya minta ampun. Pesawat telepon terus berdering di sana-sini. Sally keluar sejenak menghilang penat. Menghabiskan sebatang rokok merek Ardath. Agus yang melihat, datang mendekat.
“Rokok?” tawar Sally, mengetahui Agus menghampirinya.
“Terima kasih.”
“Bagaimana pekerjaanmu?”
“Entahlah,” kata Agus, merengut. “Aku pikir, aku kelelahan. Ibu Suwarti sangat mobile. Aku sulit mengikuti ritme beliau. Terkadang aku ingin berhenti saja; keluar dari pekerjaan ini.”
Sally menyeringai, membuang abu di ujung batang rokoknya. “Itulah risiko sekretaris. Apa kau sudah utarakan pada istrimu?”
“Hmmm… sebetulnya dari dulu dia menginginkan aku di rumah; menjadi bapak rumah tangga. Tapi aku tidak mau dengar. Aku berkeyakinan bahwa pria harus pula berkarir. Tidak terkurung dalam kubus yang disebut rumah.”
“Heh, baguslah! Lanjutkan pekerjaanmu!”
“Tapi─”
Sally meninggalkannya. Dia lelah melayani orang yang perkataannya kontradiktif. Orang seperti itu, mau dibilang bagaimana pun, sulit menerima masukan. Lagi pula banyak pekerjaan lain yang lebih penting daripada urusan Agus, pikirnya. Dia melempar pantat kembali ke kursinya dan menyelia beberapa berkas yang menggunung di atas meja. Tiba-tiba perutnya mual.

****

Hendro mulai gusar. Motornya belum kembali. Padahal, dia sudah katakan kepada Pak Putu bahwa pukul satu siang dia akan memakai motor itu untuk menjemput Ana dan Rico.
Akhirnya, demi menghindari pikiran-pikiran negatif tentang Pak Putu, dia menyibukkan diri. “Ah ya, kembangku seharian ini belum disiram.” Dia menyalakan air dari pipa di perkarangan rumah dan mulai menyirami kembang-kembangnya. Saking asyiknya, dia tidak menyadari kehadiran Pak Warjo di luar pagar.
“Kayaknya asyik benar,” sapa Pak Warjo.
“Eh, Pak Warjo. Sudah lama di sana? Maaf, saya ndak lihat.”
“Mana Ana dan Rico?”
“Belum pulang Pak. Saya belum bisa jemput. Soalnya motor saya dipinjem Pak Putu buat ngantarin anaknya berobat.”
“Berobat?”
“Iya, katanya anaknya demam.”
“Kok saya merasa anaknya ndak demam ya.”
“Loh, emang Bapak lihat anaknya? Saya memang belum. Waktu Pak Putu ngambil motor, anaknya di rumah.”
“Lihat dong! Tapi bukan di rumah sakit, melainkan mall.”
“Hah? Mall.”
“Iya, mereka belanja.”
Hendro terdiam. Mukanya memerah. Dadanya bergemuruh seperti gunung hendak meletus.
“Bapak yakin? Ndak salah lihat.”
“Hakul yakin. Kami malah saling menyapa.”
“Anaknya sehat-sehat saja?”
“Malah sedang menikmati es krim.”
“Terima kasih Pak, infonya,” Hendro masuk ke rumah.
“Loh, Pak, ini airnya belum dimatikan. Waduh, gimana ini?”

****

Minyak angin yang diberikan Prisly mulai sedikit melegakan. “Kenapa aku ini?” keluh Sally. “Perasaan baik-baik saja tadi. Kenapa kini mual?”
“Kau yakin sudah sarapan?”
“Tentu saja!” jawab Sally, jengah, karena pertanyaan itu diulang-ulang. “Asal kau tahu, Hendro paling marah bila kami keluar rumah dalam kondisi perut kosong.”
Sally mengoles kembali minyak angin di perutnya. “Ini minum!” seru Prisly kemudian, menyodorkan teh hangat yang dibuatnya sendiri di dapur umum.
Seteguk demi seteguk teh hangat itu tandas di tenggorokan Sally. Tubuhnya mulai hangat. Tiba-tiba, dari kejauhan, Loli memanggilnya dengan setengah berteriak. Ada apa lagi, sih?
“Ada telepon dari orang rumahmu, nih! Katanya penting!”
Sally segera menuju meja Loli dan mengambil gagang telepon itu secepat kilat. “Kenapa menelepon ke sini, Pa? Ini kan bukan meja Mama.” Sally betul-betul marah, dia enggan mengucapkan kata ‘halo’ atau ‘honey’ sebagaimana sebelum-sebelumnya.
“Lho! Mama ini gimana?” dari ujung saluran, suara Hendro tak kalah hebat. “Papa dari tadi menghubungi nomor Mama, tapi ndak diangkat-angkat! Handphone, juga demikian. Kemana lagi akhirnya kalau bukan ke meja Loli!”
“Oke! Mama yang salah.” Sally melunak, bukan karena takut, tapi tak enak didengar Loli.
Ndak bisa gitu! Jawab dulu kenapa tadi ndak diangkat?”
“Papa kayaknya mulai lagi.”
“Ya wajar dong, ini kan ketidaknormalan.”
Apa? Ketidaknormalan? Tidak mengangkat telepon suami di sela-sela pekerjaan menumpuk di kantor disebut ketidaknormalan? Memanglah, pikiran pria, selalu rumit.
“Baiklah, Mama jawab. Mama mual tadi. Perutmu Mama mendadak sakit. Untung Prisly memberikan minyak angin. Jadi, agak mendingan kini.”
“Serius, Ma? Tapi betul Mama sudah baikkan?”
“Iya. Jangan khawatir. Ada apa nih nelepon ke kantor?”
“Nah, ini yang Papa ingin bicarakan. Papa tahu Pak Putu, kan? Itu tetangga kita yang tinggal dua blok dari rumah. Dia tadi pinjam motor. Katanya mau ngantar anaknya berobat--------” Hendro bercerita panjang lebar, tanpa membumbuhinya sedikit pun. “Jadi, sekarang baiknya bagaimana?” tanya Hendro meminta solusi dari istrinya.
“Kamu yakin Pak Putu belum ada tanda-tanda akan pulang?”
“Aku yakin.”
“Baiklah! Berhubung kita sudah telat setengah jam. Mama akan sewa taksi untuk menjemput Ana dan Rico. Kalau bisa, sebelum taksi itu tiba di sekolah, kamu sudah kasih kabar ke pihak sekolah bahwa Ana dan Rico dijemput taksi utusan kita. Mama akan kirim nopol taksinya.”
“Baik, Ma.”
Setelah menutup gagang pesawat telepon, Sally meminta resepsionis mencarikan taksi. Tak sampai sepuluh menit, taksi itu tiba. Dia memberi instruksi kepada si sopir. Si sopir segera paham.

****

Akhirnya, Pak Rudof membuka sesi tanya jawab. Ana segera mengacungkan telunjuk. “Ya, silakan Ana?” Pak Rudof memberikan izin kepada Ana menyampaikan pertanyaannya.
“Terkait pembagian tugas, dalam buku-buku sejarah ataupun film yang saya tonton, kenapa selalu wanita yang maju ke medan perang, bukan pria? Apa ini terkait warisan manusia purba?”
“Tentu!” jawab Pak Rudof. “Evolusi telah mentakdirkan wanita menjadi lebih kuat. Jadi, sewaktu masa berburu dan meramu, wanitalah pertama kali menciptakan senjata dan menggunakannya, bukan pria. Maka itu, mereka akhirnya lebih terampil menggunakan senjata, yang di kemudian hari digunakan saat-saat perang.”
Pak Rudof melanjutkan lagi kata-katanya, “Walau demikian, bukan berarti pria tidak sama sekali terlibat dalam perang. Mereka terlibat, namun sebatas juru rawat. Semasa perang dunia empat puluh tahun yang lalu, banyak pria direkrut menjadi juru rawat. Mereka sangat membantu.”
Ana mengangguk, “O…”

****

Karena guru Matematika mereka berhalangan hadir, Bapak Kepala Sekolah hanya memberi tugas menjawab soal-soal di halaman 48. “Mana ketua kelas?” tanya Bapak Kepala Sekolah. Lesi mengacungkan telunjuk. “Hasilnya nanti antar ke ruang Bapak ya!”
Keributan pun menggema lagi. Anak laki-laki mengelompok untuk bergosip. Sedang, anak perempuan berlari-lari dan melompat-lompat di atas meja, seakan berupaya menarik perhatian lawan jenis. Tiba-tiba Lesi berteriak, “Hoi, diam! Kerjakan soalnya?” Tapi, tak satu pun yang menggubris, mereka tetap membuat kegaduhan di kelas, kecuali Rico dan Andi.
“Kasihan Lesi. Betul-betul berat menjadi ketua kelas,” kata Rico, bersimpati.
“Kau suka padanya, ya?” tanya Andi.
“Hah! Suka?”
“Aku perhatikan. Kau sering melirik-lirik ke arahnya.”
“Itu kebetulan.”
“Jangan bohong!”
“Sungguh!”
“Mau aku sampaikan salam padanya?”
“Apaan, sih?”
“Mau nggak?”
Muka Rico memerah. Ada bunga-bunga di dadanya.
“Aku ke sana, ya?” Andi kali ini serius. Dia beranjak dari kursinya.
“Eh, jangan konyol!” cegah Rico.
“Kenapa? Tidak salah, kan, menyatakan perasaan?”
“Bukan begitu! Sini, duduk dulu!” Rico menarik lengan Andi, memintanya duduk kembali. “Papaku bilang, kalau kita suka pada cewek, jangan pernah mengutarakan langsung.”
“Kenapa?”
“Karena kita akan kehilangan harga diri.”
“Harga diri?”
“Iya, karena di mana-mana, cewek yang harus mengungkapkan perasaan lebih dahulu, bukan cowok. Tugas kita, hanya memberi tanda-tanda.”
“Tanda-tanda?”
“Misalnya,” Rico menjelaskan dengan hati-hati, “Ini misal ya. Jangan kau anggap serius! Ketika aku suka pada Lesi. Agar dia tahu aku menyukainya, aku sering mengajaknya makan di kantin. Atau menghadiahkannya suatu barang yang tidak sedang dia miliki, seperti sarung tangan kiper.”
“Ini beneran atau misalnya?”
“Kan sudah kubilang misalnya.”
“Tapi kok kayak beneran. Si Lesi kan memang hobi sepakbola. Dan, posisi favoritnya adalah kiper. Ayo, ketahuan kau?”
Muka Rico kembali memerah. Dia tidak bisa menutupi lagi perasaannya pada Lesi.

****

Sally kembali ke meja kerja, menyelia beberapa berkas. Minggu depan, dia sudah menempati posisi baru. Maka itu, dia berusaha menyelesaikan segala hal mengenai tanggung jawabnya kini; sebagai anggota tim Divisi I. Saat sedang asyik mengelompokkan berkas-berkas ke dalam satu folder, dia menemukan keanehan. “Lho, kok laporan Junaedi hanya sampai Oktober. Novembernya mana?”
Dia turun ke lantai dua, mencari Junaedi. Tapi dia tidak menemukannya. Seseorang dari sebelah, seakan tahu yang dicari Sally, bersuara, “Cari Junaedi, Mbak?”
“Mas tahu?”
“Dia cuti, Mbak. Sejak tiga minggu lalu.”
“Cuti? Tapi dia tidak memberitahu apa-apa pada saya.”
“Saya pun begitu. Tahunya dari Joko. Coba Mbak tanya saja sama dia. Tuh orangnya di meja paling pojok!”
Sally mendadak kesal. Bisa-bisanya Junaedi cuti di saat kewajibannya belum tuntas. Anehnya, perusahaan mengabulkan cuti itu.
“Ada yang bisa saya bantu?” Seorang pria berkepala pelontos melihat Sally sekilas, lalu kembali ke layar komputer.
“Apa kau tahu perihal Junaedi?”
“Ya, tentu. Dia sedang cuti. Cuti menikah.”
“Bisa lama begitu?”
“Aku pun tak paham,” pria itu menaiki bahunya, kedua jemarinya masih menari-nari di atas keyboard. “Yang jelas, katanya, dia sedang dipingit.”
“Pingit?”
“Dikurung satu bulan, tidak boleh keluar rumah, hingga resmi menjadi pengantin.”
“Aku baru tahu kalau ada adat semacam itu.”
“Banyak-banyaklah bergaul.”
Brengsek! Sally menggumam. Sok sekali orang ini. Dia tidak tahu apa, posisiku di atasnya. Mau bikin gara-gara.
“Kau tahu,” kata Sally, “berapa persen perusahaan kita defisit tahun ini? Dan itu, membuat perusahaan mengambil kebijakan akan melakukan PHK besar-besaran di semester depan.”
Pria bernama Joko itu berpikir sesaat. “Dua persen.”
“Banyak-banyaklah bergaul.”
Sally tersenyum puas. Paling tidak, kedudukan satu-satu kini.

****

Setelah menempelkan gagang telepon ke telinganya, Hendro mulai membolak-balikkan halaman buku telepon. Kalau tidak salah, dia menulisnya di sudut kiri halaman terakhir. “Nah, ini dia,” katanya, semringah. Lalu menekan-nekan tombol angka, dan menunggu.
“Halo! Ada yang bisa kami bantu?” jawab seseorang, ramah, dari ujung saluran.
“Saya Pak Indrawati,” kata Hendro (Indrawati adalah nama belakang Sally. Umumnya, kalau pria telah menikah, nama aslinya hilang, dan diganti nama belakang si istri). “Saya orangtua murid Ana dan Rico. Saya ingin mengabarkan bahwa mereka akan dijemput sopir taksi utusan kami.”
“Bisa berikan nopol taksinya, Pak Indrawati?”
“Tentu. VK 4673 LL.”
“Baik. Kami akan mengurusnya. Ada lagi yang bisa kami bantu, Pak Indrawati?”
“Itu saja. Terima kasih.”

****

Tak terasa sudah satu jam mereka menunggu. Dan, sialnya belum ada tanda-tanda papa mereka menjemput. Rico mulai jenuh. Sedang, Ana hanya memandangi pintu gerbang yang tinggi dan bawarna merah itu, berharap papanya muncul di baliknya. “Mungkin motor Papa sedang dipinjam,” kata Ana, berupaya mafhum, sekaligus menyabarkan hati adiknya. “Kita main hom-pim-pa, yuk!”
Tapi Rico bergeming. Dia memilih menundukkan kepala, memasang muka cemberut.
“Katanya kau dapat brosur dari Andi? Boleh lihat?” Ana membujuk kembali.
Andi membuka ranselnya. Mengambil brosur itu, dan menyerahkan pada Ana.
“Ih kerennnn,”
“Apa kubilang.” Andi mulai bicara.
“Aku yakin Papa langsung setuju setelah melihat brosur ini. Kalau boleh usul, kau ambil kelas sore saja.”
“Aku pun berpikir demikian.”
Ketika sedang asyik membahas toko-toko yang menjual keperluan balet, Bu Hilda, satpam sekolah, datang menghampir.
“Tadi saya dapat kabar dari Pak Narto bahwa kalian akan dijemput taksi. Mungkin lima menit lagi sampai. Bersabarlah.”
Ana terbesit menanyai sesuatu. “Kenapa kita dilarang pulang sendiri ya, Buk? Kami kan bisa pulang sendiri.”
Buk Hilda tersenyum. “Ini untuk kebaikan kalian. Akhir-akhir ini sedang marak penculikan. Kami tidak mau hal itu terjadi pada siswa di sekolah ini.”
“Tapi saya bisa menjaga diri,” debat Ana.
“Kamu memang bisa, tapi bagaimana adikmu? Dia laki-laki. Rentan menjadi target penculikan.”
“Kenapa laki-laki yang rentan menjadi target penculikan?” tanya Ana, penasaran.
“Karena laki-laki itu lemah. Mereka mudah dibujuk, dan bersedia tutup mulut kalau diancam. Maka itu, kita perlu melindungi mereka. Terutama dari kejahatan seksual.” Tak lama kemudian, dari arah pintu gerbang, terdengar klakson taksi yang bernopol persis disebutkan Hendro di telepon. “Itu taksi kalian! Ayo siap-siap,” seru Bu Hilda.

****

Sally menghampiri meja Prisly. Menghempaskan pantatnya yang padat ke kursi putar merek volmar. “Aku tak percaya,” katanya, mengusap-ngusap muka.
Prisly yang heran, bertanya, “Apanya?”
“Dia mengambil cuti. Dan aku tidak tahu.”
“Siapa? Tolong ya ceritamu jangan setengah-setengah. Aku bukan mentalis yang dapat membaca pikiranmu,” kata Prisly, jengkel.
“Junaedi. Kau tahu dia, kan?”
“Orang yang tinggi kurus itu. Kalau bicara, lantang sekali, mirip perempuan.”
“Tepat!”
“Dia memang akan menikah. Masak kamu nggak tahu? Hingga hari ini dia masih dalam pergunjingan kantor.”
“Ada apa memangnya?”
“Dia menyombongkan mahar perkawinannya. Katanya, calon istrinya itu, demi mendapatkan dia, harus membayar ganti-rugi yang luar biasa.”
“Ganti-rugi apa?”
“Ya, ganti rugi buat orangtuanya. Karena orangtuanya yang membesarkan Junaedi hingga se-gorgeous dan sesukses sekarang.”
Sally menyeringai, macam hewan peliharaan saja. Tapi dia enggan mengutarakan itu dan malah berkata, “Wow, transaksional sekali. Memang mahar Si Junaedi berapa?”
“Kurang lebih, seharga SUV.”
“Apakah calon istrinya itu dari kalangan berada?”
“Kalau dia mampu menebus, berarti dari kalangan berada dong.”
“Belum tentu!” debat Sally. “Bisa jadi dia berhutang. Karena banyak sekarang ini yang memilih berhutang demi menebus mahar laki-laki. Keluargaku, ada semacam itu. Tapi aku memilih tidak. Lagi pula, keluarga dari suamiku tidak menuntut apa-apa saat aku melamarnya. Asal kami setuju dan saling mencintai, itu cukup. Kau sendiri?”
“Aku,” ulang Prisly. “Kau mau dengar ceritaku? Hmmm… mahar yang kuberikan kepada istriku biasa saja sih, seperangkat alat sholat. Tapi, pestanya yang menguras kantong. Untung pamanku mahir bernegosiasi. Jadi, dari pihak laki-laki turut pula iuran, walau tidak seberapa.”
“Ngomong-ngomong, buat apa sih buat mahar yang begitu tinggi itu?”
“Biasa. Status sosial.”
“Inilah yang merusak esensi perkawinan,” sambar Sally, kesal. “Nggak terbayang berapa banyak pasangan yang tidak bahagia akhirnya, karena si istri terlilit hutang demi mahar. Atau, bagi mereka yang mau berencana menikah, harus menunda dulu, mencari uang, demi mahar si laki-laki.”
“Apa mau dikata. Itu budaya kita,”  kata Prisly, pasrah. “Tapi aku yakin, suatu saat hal-hal seperti itu akan ditinggalkan.”
“Semoga saja.” Sally kembali pada pekerjaannya.

****

Taksi yang membawa mereka tiba di rumah. Ana dan Rico segera keluar, lalu buru-buru menemui Hendro di dapur. “Papa! Kenapa tidak menjemput kami hari ini?”
Hendro meletakkan peralatan masaknya, ditatapnya putra semata wayangnya itu. “Motor Papa sedang dipinjam Pak Putu, Sayang. Hingga kini belum kembali.”
“Kalau begitu, kenapa Papa pinjamkan?”
“Pak Putu bilang bahwa dia akan mengembalikan motor itu sebelum pukul satu siang. Maka tak ada alasan Papa menolaknya.”
Ana menaruh ransel di meja makan, membuka kulkas, dan meneguk segelas air dingin. “Aku nggak mau naik taksi lagi. Mereka lama. Tidak segesit motor.”
“Taksi itu dipesan Mama, Sayang. Kalau Papa sih maunya kalian dijemput ojek. Lebih hemat, gesit, dan mampu menembus segala medan di Kota Z yang sibuk.”
Ana mendekat ke kompor. “Wah, ada rica-rica.”
Rico terbelalak. “Betulkah? Kalau begitu mari kita makan sekarang.”
“Eits, nanti dulu,” potong Hendro. “Papa ndak suka, lihat kalian makan masih mengenakan seragam sekolah. Pamali.”
“Ah, itu kan kata Nenek.” Rico ngedumel.
“Iya, kata Nenek,” imbuh Ana.
“Nenek itu orangtuanya siapa?”
“Orangtua, Papa,” jawab mereka serempak.
“Kalau begitu, kata Nenek sama dengan kata Papa dong. Ayo, ganti dulu sana!”
Ana dan Rico tertatih-tatih menaiki tangga. Mengganti pakaian mereka di kamar masing-masing. Lima menit kemudian, mereka turun dan duduk di meja makan dengan rapi. Hendro menyapikan nasi untuk mereka (tentu sesuai porsi yang telah dihafalnya), lalu mendorong sepiring rica-rica yang disalinnya dari kuali.
“Jangan lupa doa!”
Kedua buah hatinya itu menengadahkan kedua tangan dan komat-kamit seperti paranormal merapal mantra. “Selamat makan!” Mereka menyodok rica-rica itu ke mulut. Daging dan kuahnya seketika berloncatan mengotori meja. Nasi dan kecap bertumpahan di sisi kanan dan kiri piring. Hendro menyunggingkan bibir. Dia puas melihat buah hatinya itu menikmati masakannya dengan rakus.
Sambil mengunyah daging rica-rica yang sedikit alot, Rico bercerita panjang lebar mengenai kesehariannya di sekolah, termasuk brosur balet. “Papa, hari ini Andi memberiku brosur balet. Gambarnya bagus. Kak Ana tadi sudah melihatnya. Dan, katanya, kerennn. Papa mau lihat nggak? Nanti aku ambilkan. Kalau bisa, baca juga syarat pendaftarannya ya. Mudah kok. Pas foto 3x4 sebanyak lima lembar. Uang pendaftaran awal, dan akte kelahiran.”
“Kamu nodong, ya?”
“Nodong?”
“Ana,” seru Hendro. “Itu tadi nodong, ndak?”
“Mirip sih,” jawab Ana.
Hendro menghela napas. “Kalian harus belajar dari awal lagi, bagaimana mengutarakan maksud, tanpa harus nodong. Rico barusan nodong. Papa ndak suka. Begini, Papa ajarkan. Pertama, selidiki dulu apakah orang yang kita mintai pertolongan itu sedang kesulitan atau tidak. Contoh, Rico ingin les balet. Dan, itu memerlukan biaya. Seharusnya Rico tanyai dulu apakah Papa sedang memiliki uang lebih atau tidak? Kedua, biasakan percakapan yang penting seperti ini dibahas di ruang keluarga, bukan meja makan. Di meja makan yang ringan-ringan saja. Paham?”
Keduanya mengangguk.
Hendro melanjutkan lagi, “Sekarang, habiskan dulu makanan kalian. Baru bicara les balet.”
Dua puluh menit kemudian, mereka duduk di sofa ruang keluarga. Ana menyalakan tivi dan menyetel program acara favoritnya, Toms and Jerry. Sedang, Rico menimbang-nimbang brosur yang akan diserahkan pada papanya. “Mana lihat!” seru Hendro, meminta brosur itu. Tanpa menunggu lama, brosur itu pun berpindah tangan.
“Gambar-gambarnya bagus,” komentar Hendro, membuat Rico seketika seperti menari-nari di awan.
“Pada salah satu gambar,” terang Rico, yang kini merasa yakin bahwa papanya pasti menyetujui les balet, “terdapat gambar Andi yang sedang menari-nari.”
“Mana?”
Rico merapatkan tubuhnya pada Hendro. Sehingga, wajah ayah dan anak itu sejarak dua jengkal. “Ini! Yang rambutnya dicat cokelat.”
“Astaga! Itu Andi. Papa tak mengira. Kenapa rambutnya dicat cokelat begitu?”
“Katanya, dia sedang memerankan seekor kancil yang dikutuk menjadi angsa.”
“Peran yang aneh!”
“Begitulah.”
Hendro pun menghela nafas, mulai berpikir keras keputusan apa yang bakal diambilnya setelah melihat brosur itu. Ana hanya senyum-senyum menengok papanya itu. Menurut Ana, papanya terlalu mendramatisir keadaan. Seakan, keputusan yang diambilnya berpengaruh pada seluruh tatanan kehidupan. Berbeda sekali dengan Mama: santai, tapi pasti.
“Papa perlu bicarakan dulu sama Mama,” kata Hendro, mencari aman, agar keputusannya tidak dipersalahkan kemudian hari.
Muka Rico seketika berubah layaknya kepiting rebus. Dia tak menyangka, papanya memilih menggantung keputusan. Ana berupaya membantu adiknya. “Pagi tadi di mobil, kami sudah berdiskusi. Mama bilang bahwa dia menyerahkan sepenuhnya pada Papa. Karena Papa yang mengelola keuangan,” kata Ana.
“Begitu? Baiklah, Papa akan mengambil keputusan. Tahun depan, Rico...” Hendro menahan sejenak, mengambil napas. “Tahun depan, Rico… diizinkan les balet.”
Rico meloncat kegirangan. Ana tertawa. Hendro tersenyum.

BERSAMBUNG...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar