KELANJUTAN DF1...
Kantor hari itu sibuknya minta ampun. Pesawat
telepon terus berdering di sana-sini. Sally keluar sejenak menghilang penat. Menghabiskan
sebatang rokok merek Ardath. Agus yang melihat, datang mendekat.
“Rokok?” tawar Sally, mengetahui Agus menghampirinya.
“Terima kasih.”
“Bagaimana pekerjaanmu?”
“Entahlah,” kata Agus, merengut. “Aku
pikir, aku kelelahan. Ibu Suwarti sangat mobile.
Aku sulit mengikuti ritme beliau. Terkadang aku ingin berhenti saja; keluar
dari pekerjaan ini.”
Sally menyeringai, membuang abu di
ujung batang rokoknya. “Itulah risiko sekretaris. Apa kau sudah utarakan pada
istrimu?”
“Hmmm… sebetulnya dari dulu dia
menginginkan aku di rumah; menjadi bapak rumah tangga. Tapi aku tidak mau
dengar. Aku berkeyakinan bahwa pria harus pula berkarir. Tidak terkurung dalam
kubus yang disebut rumah.”
“Heh, baguslah! Lanjutkan
pekerjaanmu!”
“Tapi─”
Sally meninggalkannya. Dia lelah
melayani orang yang perkataannya kontradiktif. Orang seperti itu, mau dibilang
bagaimana pun, sulit menerima masukan. Lagi pula banyak pekerjaan lain yang lebih
penting daripada urusan Agus, pikirnya. Dia melempar pantat kembali ke kursinya
dan menyelia beberapa berkas yang menggunung di atas meja. Tiba-tiba perutnya
mual.
****
Hendro mulai gusar. Motornya belum
kembali. Padahal, dia sudah katakan kepada Pak Putu bahwa pukul satu siang dia
akan memakai motor itu untuk menjemput Ana dan Rico.
Akhirnya, demi menghindari
pikiran-pikiran negatif tentang Pak Putu, dia menyibukkan diri. “Ah ya,
kembangku seharian ini belum disiram.” Dia menyalakan air dari pipa di perkarangan
rumah dan mulai menyirami kembang-kembangnya. Saking asyiknya, dia tidak
menyadari kehadiran Pak Warjo di luar pagar.
“Kayaknya asyik benar,” sapa Pak
Warjo.
“Eh, Pak Warjo. Sudah lama di sana?
Maaf, saya ndak lihat.”
“Mana Ana dan Rico?”
“Belum pulang Pak. Saya belum bisa
jemput. Soalnya motor saya dipinjem
Pak Putu buat ngantarin anaknya berobat.”
“Berobat?”
“Iya, katanya anaknya demam.”
“Kok saya merasa anaknya ndak demam ya.”
“Loh, emang Bapak lihat anaknya? Saya
memang belum. Waktu Pak Putu ngambil motor, anaknya di rumah.”
“Lihat dong! Tapi bukan di rumah
sakit, melainkan mall.”
“Hah? Mall.”
“Iya, mereka belanja.”
Hendro terdiam. Mukanya memerah. Dadanya
bergemuruh seperti gunung hendak meletus.
“Bapak yakin? Ndak salah lihat.”
“Hakul yakin. Kami malah saling
menyapa.”
“Anaknya sehat-sehat saja?”
“Malah sedang menikmati es krim.”
“Terima kasih Pak, infonya,” Hendro
masuk ke rumah.
“Loh, Pak, ini airnya belum dimatikan.
Waduh, gimana ini?”
****
Minyak angin yang diberikan Prisly
mulai sedikit melegakan. “Kenapa aku ini?” keluh Sally. “Perasaan baik-baik
saja tadi. Kenapa kini mual?”
“Kau yakin sudah sarapan?”
“Tentu saja!” jawab Sally, jengah,
karena pertanyaan itu diulang-ulang. “Asal kau tahu, Hendro paling marah bila
kami keluar rumah dalam kondisi perut kosong.”
Sally mengoles kembali minyak angin di
perutnya. “Ini minum!” seru Prisly kemudian, menyodorkan teh hangat yang
dibuatnya sendiri di dapur umum.
Seteguk demi seteguk teh hangat itu
tandas di tenggorokan Sally. Tubuhnya mulai hangat. Tiba-tiba, dari kejauhan,
Loli memanggilnya dengan setengah berteriak. Ada apa lagi, sih?
“Ada telepon dari orang rumahmu, nih!
Katanya penting!”
Sally segera menuju meja Loli dan
mengambil gagang telepon itu secepat kilat. “Kenapa menelepon ke sini, Pa? Ini
kan bukan meja Mama.” Sally betul-betul marah, dia enggan mengucapkan kata
‘halo’ atau ‘honey’ sebagaimana sebelum-sebelumnya.
“Lho! Mama ini gimana?” dari ujung
saluran, suara Hendro tak kalah hebat. “Papa dari tadi menghubungi nomor Mama, tapi
ndak diangkat-angkat! Handphone, juga
demikian. Kemana lagi akhirnya kalau bukan ke meja Loli!”
“Oke! Mama yang salah.” Sally melunak,
bukan karena takut, tapi tak enak didengar Loli.
“Ndak
bisa gitu! Jawab dulu kenapa tadi ndak
diangkat?”
“Papa kayaknya mulai lagi.”
“Ya wajar dong, ini kan
ketidaknormalan.”
Apa?
Ketidaknormalan? Tidak mengangkat telepon suami di sela-sela pekerjaan menumpuk
di kantor disebut ketidaknormalan? Memanglah, pikiran pria, selalu rumit.
“Baiklah, Mama jawab. Mama mual tadi.
Perutmu Mama mendadak sakit. Untung Prisly memberikan minyak angin. Jadi, agak mendingan
kini.”
“Serius, Ma? Tapi betul Mama sudah
baikkan?”
“Iya. Jangan khawatir. Ada apa nih
nelepon ke kantor?”
“Nah, ini yang Papa ingin bicarakan.
Papa tahu Pak Putu, kan? Itu tetangga kita yang tinggal dua blok dari rumah.
Dia tadi pinjam motor. Katanya mau ngantar anaknya berobat--------” Hendro
bercerita panjang lebar, tanpa membumbuhinya sedikit pun. “Jadi, sekarang
baiknya bagaimana?” tanya Hendro meminta solusi dari istrinya.
“Kamu yakin Pak Putu belum ada
tanda-tanda akan pulang?”
“Aku yakin.”
“Baiklah! Berhubung kita sudah telat
setengah jam. Mama akan sewa taksi untuk menjemput Ana dan Rico. Kalau bisa,
sebelum taksi itu tiba di sekolah, kamu sudah kasih kabar ke pihak sekolah
bahwa Ana dan Rico dijemput taksi utusan kita. Mama akan kirim nopol taksinya.”
“Baik, Ma.”
Setelah menutup gagang pesawat
telepon, Sally meminta resepsionis mencarikan taksi. Tak sampai sepuluh menit,
taksi itu tiba. Dia memberi instruksi kepada si sopir. Si sopir segera paham.
****
Akhirnya, Pak Rudof membuka sesi tanya
jawab. Ana segera mengacungkan telunjuk. “Ya, silakan Ana?” Pak Rudof
memberikan izin kepada Ana menyampaikan pertanyaannya.
“Terkait pembagian tugas, dalam
buku-buku sejarah ataupun film yang saya tonton, kenapa selalu wanita yang maju
ke medan perang, bukan pria? Apa ini terkait warisan manusia purba?”
“Tentu!” jawab Pak Rudof. “Evolusi
telah mentakdirkan wanita menjadi lebih kuat. Jadi, sewaktu masa berburu dan
meramu, wanitalah pertama kali menciptakan senjata dan menggunakannya, bukan
pria. Maka itu, mereka akhirnya lebih terampil menggunakan senjata, yang di
kemudian hari digunakan saat-saat perang.”
Pak Rudof melanjutkan lagi
kata-katanya, “Walau demikian, bukan berarti pria tidak sama sekali terlibat
dalam perang. Mereka terlibat, namun sebatas juru rawat. Semasa perang dunia
empat puluh tahun yang lalu, banyak pria direkrut menjadi juru rawat. Mereka
sangat membantu.”
Ana mengangguk, “O…”
****
Karena guru Matematika mereka berhalangan
hadir, Bapak Kepala Sekolah hanya memberi tugas menjawab soal-soal di halaman
48. “Mana ketua kelas?” tanya Bapak Kepala Sekolah. Lesi mengacungkan telunjuk.
“Hasilnya nanti antar ke ruang Bapak ya!”
Keributan pun menggema lagi. Anak
laki-laki mengelompok untuk bergosip. Sedang, anak perempuan berlari-lari dan melompat-lompat
di atas meja, seakan berupaya menarik perhatian lawan jenis. Tiba-tiba Lesi
berteriak, “Hoi, diam! Kerjakan soalnya?” Tapi, tak satu pun yang menggubris,
mereka tetap membuat kegaduhan di kelas, kecuali Rico dan Andi.
“Kasihan Lesi. Betul-betul berat
menjadi ketua kelas,” kata Rico, bersimpati.
“Kau suka padanya, ya?” tanya Andi.
“Hah! Suka?”
“Aku perhatikan. Kau sering
melirik-lirik ke arahnya.”
“Itu kebetulan.”
“Jangan bohong!”
“Sungguh!”
“Mau aku sampaikan salam padanya?”
“Apaan, sih?”
“Mau nggak?”
Muka Rico memerah. Ada bunga-bunga di
dadanya.
“Aku ke sana, ya?” Andi kali ini
serius. Dia beranjak dari kursinya.
“Eh, jangan konyol!” cegah Rico.
“Kenapa? Tidak salah, kan, menyatakan
perasaan?”
“Bukan begitu! Sini, duduk dulu!” Rico
menarik lengan Andi, memintanya duduk kembali. “Papaku bilang, kalau kita suka
pada cewek, jangan pernah mengutarakan langsung.”
“Kenapa?”
“Karena kita akan kehilangan harga
diri.”
“Harga diri?”
“Iya, karena di mana-mana, cewek yang
harus mengungkapkan perasaan lebih dahulu, bukan cowok. Tugas kita, hanya
memberi tanda-tanda.”
“Tanda-tanda?”
“Misalnya,” Rico menjelaskan dengan
hati-hati, “Ini misal ya. Jangan kau anggap serius! Ketika aku suka pada Lesi.
Agar dia tahu aku menyukainya, aku sering mengajaknya makan di kantin. Atau
menghadiahkannya suatu barang yang tidak sedang dia miliki, seperti sarung
tangan kiper.”
“Ini beneran atau misalnya?”
“Kan sudah kubilang misalnya.”
“Tapi kok kayak beneran. Si Lesi kan memang hobi sepakbola. Dan, posisi favoritnya
adalah kiper. Ayo, ketahuan kau?”
Muka Rico kembali memerah. Dia tidak
bisa menutupi lagi perasaannya pada Lesi.
****
Sally kembali ke meja kerja, menyelia
beberapa berkas. Minggu depan, dia sudah menempati posisi baru. Maka itu, dia
berusaha menyelesaikan segala hal mengenai tanggung jawabnya kini; sebagai
anggota tim Divisi I. Saat sedang asyik mengelompokkan berkas-berkas ke dalam
satu folder, dia menemukan keanehan. “Lho, kok laporan Junaedi hanya sampai
Oktober. Novembernya mana?”
Dia turun ke lantai dua, mencari
Junaedi. Tapi dia tidak menemukannya. Seseorang dari sebelah, seakan tahu yang
dicari Sally, bersuara, “Cari Junaedi, Mbak?”
“Mas tahu?”
“Dia cuti, Mbak. Sejak tiga minggu
lalu.”
“Cuti? Tapi dia tidak memberitahu
apa-apa pada saya.”
“Saya pun begitu. Tahunya dari Joko.
Coba Mbak tanya saja sama dia. Tuh orangnya di meja paling pojok!”
Sally mendadak kesal. Bisa-bisanya
Junaedi cuti di saat kewajibannya belum tuntas. Anehnya, perusahaan mengabulkan
cuti itu.
“Ada yang bisa saya bantu?” Seorang
pria berkepala pelontos melihat Sally sekilas, lalu kembali ke layar komputer.
“Apa kau tahu perihal Junaedi?”
“Ya, tentu. Dia sedang cuti. Cuti
menikah.”
“Bisa lama begitu?”
“Aku pun tak paham,” pria itu menaiki
bahunya, kedua jemarinya masih menari-nari di atas keyboard. “Yang jelas,
katanya, dia sedang dipingit.”
“Pingit?”
“Dikurung satu bulan, tidak boleh
keluar rumah, hingga resmi menjadi pengantin.”
“Aku baru tahu kalau ada adat semacam
itu.”
“Banyak-banyaklah bergaul.”
Brengsek!
Sally menggumam. Sok sekali orang ini. Dia tidak tahu apa,
posisiku di atasnya. Mau bikin gara-gara.
“Kau tahu,” kata Sally, “berapa persen
perusahaan kita defisit tahun ini? Dan itu, membuat perusahaan mengambil kebijakan
akan melakukan PHK besar-besaran di semester depan.”
Pria bernama Joko itu berpikir sesaat.
“Dua persen.”
“Banyak-banyaklah bergaul.”
Sally tersenyum puas. Paling tidak,
kedudukan satu-satu kini.
****
Setelah menempelkan gagang telepon ke
telinganya, Hendro mulai membolak-balikkan halaman buku telepon. Kalau tidak
salah, dia menulisnya di sudut kiri halaman terakhir. “Nah, ini dia,” katanya,
semringah. Lalu menekan-nekan tombol angka, dan menunggu.
“Halo! Ada yang bisa kami bantu?”
jawab seseorang, ramah, dari ujung saluran.
“Saya Pak Indrawati,” kata Hendro (Indrawati
adalah nama belakang Sally. Umumnya, kalau pria telah menikah, nama aslinya
hilang, dan diganti nama belakang si istri). “Saya orangtua murid Ana dan Rico.
Saya ingin mengabarkan bahwa mereka akan dijemput sopir taksi utusan kami.”
“Bisa berikan nopol taksinya, Pak
Indrawati?”
“Tentu. VK 4673 LL.”
“Baik. Kami akan mengurusnya. Ada lagi
yang bisa kami bantu, Pak Indrawati?”
“Itu saja. Terima kasih.”
****
Tak terasa sudah satu jam mereka
menunggu. Dan, sialnya belum ada tanda-tanda papa mereka menjemput. Rico mulai
jenuh. Sedang, Ana hanya memandangi pintu gerbang yang tinggi dan bawarna merah
itu, berharap papanya muncul di baliknya. “Mungkin motor Papa sedang dipinjam,”
kata Ana, berupaya mafhum, sekaligus menyabarkan hati adiknya. “Kita main
hom-pim-pa, yuk!”
Tapi Rico bergeming. Dia memilih
menundukkan kepala, memasang muka cemberut.
“Katanya kau dapat brosur dari Andi?
Boleh lihat?” Ana membujuk kembali.
Andi membuka ranselnya. Mengambil
brosur itu, dan menyerahkan pada Ana.
“Ih kerennnn,”
“Apa kubilang.” Andi mulai bicara.
“Aku yakin Papa langsung setuju
setelah melihat brosur ini. Kalau boleh usul, kau ambil kelas sore saja.”
“Aku pun berpikir demikian.”
Ketika sedang asyik membahas toko-toko
yang menjual keperluan balet, Bu Hilda, satpam sekolah, datang menghampir.
“Tadi saya dapat kabar dari Pak Narto
bahwa kalian akan dijemput taksi. Mungkin lima menit lagi sampai. Bersabarlah.”
Ana terbesit menanyai sesuatu. “Kenapa
kita dilarang pulang sendiri ya, Buk? Kami kan bisa pulang sendiri.”
Buk Hilda tersenyum. “Ini untuk
kebaikan kalian. Akhir-akhir ini sedang marak penculikan. Kami tidak mau hal
itu terjadi pada siswa di sekolah ini.”
“Tapi saya bisa menjaga diri,” debat
Ana.
“Kamu memang bisa, tapi bagaimana
adikmu? Dia laki-laki. Rentan menjadi target penculikan.”
“Kenapa laki-laki yang rentan menjadi
target penculikan?” tanya Ana, penasaran.
“Karena laki-laki itu lemah. Mereka
mudah dibujuk, dan bersedia tutup mulut kalau diancam. Maka itu, kita perlu
melindungi mereka. Terutama dari kejahatan seksual.” Tak lama kemudian, dari
arah pintu gerbang, terdengar klakson taksi yang bernopol persis disebutkan
Hendro di telepon. “Itu taksi kalian! Ayo siap-siap,” seru Bu Hilda.
****
Sally menghampiri meja Prisly.
Menghempaskan pantatnya yang padat ke kursi putar merek volmar. “Aku tak
percaya,” katanya, mengusap-ngusap muka.
Prisly yang heran, bertanya, “Apanya?”
“Dia mengambil cuti. Dan aku tidak tahu.”
“Siapa? Tolong ya ceritamu jangan setengah-setengah.
Aku bukan mentalis yang dapat membaca pikiranmu,” kata Prisly, jengkel.
“Junaedi. Kau tahu dia, kan?”
“Orang yang tinggi kurus itu. Kalau
bicara, lantang sekali, mirip perempuan.”
“Tepat!”
“Dia memang akan menikah. Masak kamu
nggak tahu? Hingga hari ini dia masih dalam pergunjingan kantor.”
“Ada apa memangnya?”
“Dia menyombongkan mahar perkawinannya.
Katanya, calon istrinya itu, demi mendapatkan dia, harus membayar ganti-rugi
yang luar biasa.”
“Ganti-rugi apa?”
“Ya, ganti rugi buat orangtuanya. Karena
orangtuanya yang membesarkan Junaedi hingga se-gorgeous dan sesukses sekarang.”
Sally menyeringai, macam hewan peliharaan saja. Tapi dia
enggan mengutarakan itu dan malah berkata, “Wow, transaksional sekali. Memang mahar
Si Junaedi berapa?”
“Kurang lebih, seharga SUV.”
“Apakah calon istrinya itu dari kalangan
berada?”
“Kalau dia mampu menebus, berarti dari
kalangan berada dong.”
“Belum tentu!” debat Sally. “Bisa jadi
dia berhutang. Karena banyak sekarang ini yang memilih berhutang demi menebus
mahar laki-laki. Keluargaku, ada semacam itu. Tapi aku memilih tidak. Lagi pula,
keluarga dari suamiku tidak menuntut apa-apa saat aku melamarnya. Asal kami
setuju dan saling mencintai, itu cukup. Kau sendiri?”
“Aku,” ulang Prisly. “Kau mau dengar
ceritaku? Hmmm… mahar yang kuberikan kepada istriku biasa saja sih, seperangkat
alat sholat. Tapi, pestanya yang menguras kantong. Untung pamanku mahir
bernegosiasi. Jadi, dari pihak laki-laki turut pula iuran, walau tidak seberapa.”
“Ngomong-ngomong, buat apa sih buat
mahar yang begitu tinggi itu?”
“Biasa. Status sosial.”
“Inilah yang merusak esensi
perkawinan,” sambar Sally, kesal. “Nggak terbayang berapa banyak pasangan yang
tidak bahagia akhirnya, karena si istri terlilit hutang demi mahar. Atau, bagi
mereka yang mau berencana menikah, harus menunda dulu, mencari uang, demi mahar
si laki-laki.”
“Apa mau dikata. Itu budaya kita,” kata Prisly, pasrah. “Tapi aku yakin, suatu
saat hal-hal seperti itu akan ditinggalkan.”
“Semoga saja.” Sally kembali pada pekerjaannya.
****
Taksi yang membawa mereka tiba di
rumah. Ana dan Rico segera keluar, lalu buru-buru menemui Hendro di dapur.
“Papa! Kenapa tidak menjemput kami hari ini?”
Hendro meletakkan peralatan masaknya,
ditatapnya putra semata wayangnya itu. “Motor Papa sedang dipinjam Pak Putu, Sayang.
Hingga kini belum kembali.”
“Kalau begitu, kenapa Papa pinjamkan?”
“Pak Putu bilang bahwa dia akan
mengembalikan motor itu sebelum pukul satu siang. Maka tak ada alasan Papa
menolaknya.”
Ana menaruh ransel di meja makan,
membuka kulkas, dan meneguk segelas air dingin. “Aku nggak mau naik taksi lagi.
Mereka lama. Tidak segesit motor.”
“Taksi itu dipesan Mama, Sayang. Kalau
Papa sih maunya kalian dijemput ojek. Lebih hemat, gesit, dan mampu menembus
segala medan di Kota Z yang sibuk.”
Ana mendekat ke kompor. “Wah, ada rica-rica.”
Rico terbelalak. “Betulkah? Kalau begitu
mari kita makan sekarang.”
“Eits, nanti dulu,” potong Hendro. “Papa
ndak suka, lihat kalian makan masih
mengenakan seragam sekolah. Pamali.”
“Ah, itu kan kata Nenek.” Rico
ngedumel.
“Iya, kata Nenek,” imbuh Ana.
“Nenek itu orangtuanya siapa?”
“Orangtua, Papa,” jawab mereka
serempak.
“Kalau begitu, kata Nenek sama dengan
kata Papa dong. Ayo, ganti dulu sana!”
Ana dan Rico tertatih-tatih menaiki
tangga. Mengganti pakaian mereka di kamar masing-masing. Lima menit kemudian,
mereka turun dan duduk di meja makan dengan rapi. Hendro menyapikan nasi untuk
mereka (tentu sesuai porsi yang telah dihafalnya), lalu mendorong sepiring
rica-rica yang disalinnya dari kuali.
“Jangan lupa doa!”
Kedua buah hatinya itu menengadahkan
kedua tangan dan komat-kamit seperti paranormal merapal mantra. “Selamat
makan!” Mereka menyodok rica-rica itu ke mulut. Daging dan kuahnya seketika berloncatan
mengotori meja. Nasi dan kecap bertumpahan di sisi kanan dan kiri piring.
Hendro menyunggingkan bibir. Dia puas melihat buah hatinya itu menikmati
masakannya dengan rakus.
Sambil mengunyah daging rica-rica yang
sedikit alot, Rico bercerita panjang lebar mengenai kesehariannya di sekolah,
termasuk brosur balet. “Papa, hari ini Andi memberiku brosur balet. Gambarnya
bagus. Kak Ana tadi sudah melihatnya. Dan, katanya, kerennn. Papa mau lihat
nggak? Nanti aku ambilkan. Kalau bisa, baca juga syarat pendaftarannya ya.
Mudah kok. Pas foto 3x4 sebanyak lima lembar. Uang pendaftaran awal, dan akte
kelahiran.”
“Kamu nodong, ya?”
“Nodong?”
“Ana,” seru Hendro. “Itu tadi nodong, ndak?”
“Mirip sih,” jawab Ana.
Hendro menghela napas. “Kalian harus
belajar dari awal lagi, bagaimana mengutarakan maksud, tanpa harus nodong. Rico
barusan nodong. Papa ndak suka.
Begini, Papa ajarkan. Pertama, selidiki dulu apakah orang yang kita mintai
pertolongan itu sedang kesulitan atau tidak. Contoh, Rico ingin les balet. Dan,
itu memerlukan biaya. Seharusnya Rico tanyai dulu apakah Papa sedang memiliki
uang lebih atau tidak? Kedua, biasakan percakapan yang penting seperti ini
dibahas di ruang keluarga, bukan meja makan. Di meja makan yang ringan-ringan
saja. Paham?”
Keduanya mengangguk.
Hendro melanjutkan lagi, “Sekarang,
habiskan dulu makanan kalian. Baru bicara les balet.”
Dua puluh menit kemudian, mereka duduk
di sofa ruang keluarga. Ana menyalakan tivi dan menyetel program acara
favoritnya, Toms and Jerry. Sedang, Rico menimbang-nimbang brosur yang akan
diserahkan pada papanya. “Mana lihat!” seru Hendro, meminta brosur itu. Tanpa
menunggu lama, brosur itu pun berpindah tangan.
“Gambar-gambarnya bagus,” komentar
Hendro, membuat Rico seketika seperti menari-nari di awan.
“Pada salah satu gambar,” terang Rico,
yang kini merasa yakin bahwa papanya pasti menyetujui les balet, “terdapat
gambar Andi yang sedang menari-nari.”
“Mana?”
Rico merapatkan tubuhnya pada Hendro.
Sehingga, wajah ayah dan anak itu sejarak dua jengkal. “Ini! Yang rambutnya
dicat cokelat.”
“Astaga! Itu Andi. Papa tak mengira.
Kenapa rambutnya dicat cokelat begitu?”
“Katanya, dia sedang memerankan seekor
kancil yang dikutuk menjadi angsa.”
“Peran yang aneh!”
“Begitulah.”
Hendro pun menghela nafas, mulai
berpikir keras keputusan apa yang bakal diambilnya setelah melihat brosur itu. Ana
hanya senyum-senyum menengok papanya itu. Menurut Ana, papanya terlalu
mendramatisir keadaan. Seakan, keputusan yang diambilnya berpengaruh pada
seluruh tatanan kehidupan. Berbeda sekali dengan Mama: santai, tapi pasti.
“Papa perlu bicarakan dulu sama Mama,”
kata Hendro, mencari aman, agar keputusannya tidak dipersalahkan kemudian hari.
Muka Rico seketika berubah layaknya
kepiting rebus. Dia tak menyangka, papanya memilih menggantung keputusan. Ana
berupaya membantu adiknya. “Pagi tadi di mobil, kami sudah berdiskusi. Mama bilang
bahwa dia menyerahkan sepenuhnya pada Papa. Karena Papa yang mengelola
keuangan,” kata Ana.
“Begitu? Baiklah, Papa akan mengambil
keputusan. Tahun depan, Rico...” Hendro menahan sejenak, mengambil napas. “Tahun
depan, Rico… diizinkan les balet.”
Rico meloncat kegirangan. Ana tertawa.
Hendro tersenyum.
BERSAMBUNG...