Tahun
ini masih sama seperti tahun sebelumnya, saya gagal mendapat penghargaan satu
pun dalam ajang sastra. Padahal sebagaimana tahun sebelumnya juga, banyak yang
saya korbankan (terutama studi) agar terwujudnya mimpi 'itu’.
Sejak
merintis Januari 2013, saya seakan lupa segala-galanya. Saya menjadi tidak bisa
membedakan antara kewajiban dan selingan. Seharusnya, studi (sebagai alasan kenapa
saya di sini) yang harus diutamakan, tapi saya malah nulis sastra (selingan).
Saat
tersadar bahwa waktu terus berjalan dan hendak kembali fokus studi, godaan itu
datang lagi. Entahlah, saya mudah sekali tesulut bila melihat seorang yang
lebih muda usianya dari saya, tapi prestasi yang diperolehnya dari dunia sastra
telah cukup banyak. Nah, saya mudah sekali tersulut. Kalau sudah tersulut, saya
bernafsu menulis sastra lagi dan berusaha lebih bagus dari anak muda itu.
Sehingga tanpa sadar kewajiban terabaikan kembali.
Sekarang cukup sudah! Setelah melakukan perenungan yang dalam dan saksama, saya putuskan
‘meninggalkan sastra’. Saya tidak akan lagi menulis cerpen, cerber, dan sejenis
lainnya hingga waktu yang tidak ditentukan. Pertama,
agar saya kembali fokus ke studi (dalam hal ini tesis). Bagaimana pun saya
mesti bertanggung jawab atas apa yang saya mulai. Kedua, barangkali peruntungan saya bukan di sini, tapi di sektor
lain. Saya teringat ayah saya dulu berkata bahwa dia barharap suatu saat saya meneruskan
bisnisnya. Bisa jadi ini sektor yang dimaksudkan.
Baiklah, ini cerpen terakhir saya.
Bulan lalu cerpen ini saya ikutkan sayembara Anugerah Seni dan Sastra FIB UGM
2015, tapi gagal menang. Semoga menghibur. Bye!
Suatu
pagi Sally membaca surat kabar yang begini isinya:
KOTA Z -
Kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) kembali terjadi. Kali ini dialami AP
(30), warga Kelurahan X, Kecamatan Y, Kota Z.
Menurut AP, istrinya MS (26) sudah sering melakukan kekerasan
fisik pada dirinya, hingga tubuhnya memar dan bengkak-bengkak.
"Sejak kami pacaran hingga usia perkawinan sudah dua tahun
lebih ini, tidak jarang dia memukul saya," kata AP, meneteskan air mata di
Polresta Z, Rabu (2/9/2095).
Terakhir, penganiayaan terjadi pagi kemarin di kediaman mereka di
E. Dia ditendang, dipukul di bagian kepala, dan dadanya diinjak. Tak hanya itu,
korban juga kerap dibenturkan ke tembok dan lantai, lalu diinjak-injak.
"Selama ini saya hanya pendam. Karena tidak tahan lagi, saya
pun laporkan ke polisi," jelasnya.
Awalnya, lanjut korban, dirinya berpikir kekerasan fisik yang
kerap dialaminya akan berlalu setelah menikah dan dikarunia anak. Tapi, yang
terjadi justru sebaliknya.
"Dia tidak pernah berubah. Meski kami sudah dikaruniai
seorang putra yang kini sudah berusia hampir tiga bulan, tapi sifat ringan
tangannya tidak berubah."
Karena tidak tahan disiksa terus, korban pun terpaksa melaporkan
perbuatan istrinya itu ke Polresta Z.
"Permintaan saya bukan cerai. Tapi saya berharap dia ditahan
agar jera. Mungkin dengan demikian dia bisa berubah," harap korban.
Kasubbag Humas Polresta Z AKP Anna Indigo mengatakan, laporan
korban sudah diterima dan selanjutnya akan ditangani Unit Perlindungan
Laki-laki dan Anak (PLA) Polresta Z.
"Korban suruh kami datang lagi pada Senin pagi di PLA. Kasus
ini akan segera diselidiki."
Sally beralih ke kolom lain. Dia menghela napas membaca
satu lagi berita yang begini isinya:
KOTA Z — Kasus pelecehan seksual di dalam bus trans-Z kembali
terjadi. Kali ini, pelecehan seksual dialami RA (15), siswa SMA di bilangan Y.
Korban mendapat perlakuan tidak senonoh dari LS (29) saat menumpang bus trans-Z
Koridor VII (Kampung A-Kampung D).
Beruntung, aksi LS dipergoki Rasyid (35), penumpang lainnya, yang
kemudian langsung membawa korban ke Polresta Z.
Diceritakan Rasyid, RA naik trans-Z dari Halte A, sedangkan LS
naik dari Halte B. Memanfaatkan situasi bus yang penuh sesak penumpang, LS
dilihatnya mulai mendekati korban yang saat itu sama-sama dalam kondisi
berdiri. Sejak di kawasan B, LS mulai terlihat menggerayangi bokong dan bagian
belakang paha korban.
"Saya memerhatikan gerak gerik yang mencurigakan dari
pelaku. Setelah saya dekati, ternyata benar pelaku sedang memegangi bokong
korban," ujar Rasyid di Polresta Z, Rabu (2/9/2095).
Dia mendapati aksi bejat LS saat trans-Z berada di Halte C. Dia
pun kemudian menangkap tangan pelaku yang tengah memegangi pantat korban sambil
membentaknya.
Keruan saja, teriakan itu mengundang perhatian dari penumpang
lainnya. LS pun hampir menjadi bulan-bulanan para penumpang. Beruntung, petugas
trans-Z berhasil mencegahnya, kemudian membawanya ke Polresta Kota Z bersama RA
dan Rasyid.
Di hadapan penyidik, LS tampak lebih banyak terdiam. Namun, RA
yang masih mengenakan seragam SMA dengan beberapa helai janggut tipis di dagu
mengiyakan saat petugas menanyakan apakah terjadi pelecehan terhadapnya.
"Saya diam karena saya takut, apalagi pelaku terlihat cantik
dan ayu, kalau saya teriak semua orang bakal tidak percaya," kata RA.
LS juga sempat menolak tuduhan saksi dan korban bahwa ia telah
melakukan pelecehan seksual. Dia mengaku memegang pantat RA karena saat itu
terdorong penumpang lain. Terlebih, saat itu bus dalam keadaan penuh.
"Justru saya menghindari bersentuhan dengan korban, tetapi
karena penumpang lain terus berdesakan, akhirnya saya pun terdorong,"
kilahnya.
Bahkan, guna meyakinkan petugas, pelaku siap mencium kaki korban
untuk meminta maaf dan meminta agar kasus ini diselesaikan secara kekeluargaan.
Karena melibatkan pelajar, oleh petugas, kasus ini kemudian
dilimpahkan ke Unit Perlindungan Laki-laki dan Anak (PLA) Polresta Z.
Sally menghempas surat kabar itu di atas meja. “Sial!
Kalau terus begini lama-lama citra wanita kian buruk saja!”
Tak lama kemudian, Hendro, suami Sally, muncul dari dalam
rumah membawa secangkir kopi. “Ada apa toh, Ma?
Pagi-pagi sudah masam?”
Sally menerima kopi itu. Segera dihirupnya. Nikmat luar
biasa. Hendro memang suami yang pandai. Kalau dipikir-pikir, beruntung sekali
dia mendapatkan Hendro. Selain pintar masak, ngasuh anak, Hendro juga hebat di
ranjang. Dia menyukai teriakan-teriakan kecil Hendro: iku-iku!
“Biasa,” jawab Sally, “berita basi! Agar surat kabar mereka
tetap laku.”
Hendro mengernyitkan dahi.
“Iya… berita pelecehan seksual, perkosaan, dan kekerasan
rumah tangga. Berita-berita seperti itu ditulis besar-besar judulnya oleh
redaksi. Agar pembaca tertarik dan mendapat ‘plus-plus’ selain berita politik.
Bacalah gaya bertutur mereka, mirip cerpen,” terang Sally. “Eh, anak kita sudah
kau mandikan belum? Lima menit lagi aku berangkat.”
Hendro mengangguk. “Itu mereka sedang sarapan. Apa perlu
aku buatkan bekal, Ma?”
“Oh tidak tidak. Siang ini aku makan bersama klien.” Sally
beranjak dari kursi, mengelap mulut dari sisa kopi, lalu mengecup dagu sang
suami. “Ana! Rico! Ayo, Nak!”
Sejurus kemudian, anak-anak mereka keluar dari dalam
rumah. Hendro mencium satu-satu pipi mereka. Sambil melambaikan tangan melihat
mobil yang keluar pagar, Hendro berteriak, “Semoga hari ini menyenangkan! Papa
mencintai kalian!”
****
Kantor hari itu sibuknya minta ampun. Pesawat telepon
terus berdering di sana-sini. Sally keluar sejenak menghilang penat.
Menghabiskan sebatang rokok merek Ardath. Agus yang melihat, datang mendekat.
“Rokok?” tawar Sally, mengetahui Agus menghampirinya.
“Terima kasih.”
“Bagaimana pekerjaanmu?”
“Entahlah,” Agus menaiki kedua bahunya. “Aku pikir, aku
kelelahan. Ibu Suwarti sangat mobile. Aku sulit
mengikuti ritme beliau. Terkadang aku ingin berhenti saja; keluar dari
pekerjaan ini.”
Sally menyeringai, membuang abu di ujung batang rokoknya.
“Itulah risiko sekretaris. Apa kau sudah utarakan pada istrimu?”
“Hmmm… dari dulu dia menginginkan aku di rumah; menjadi
bapak rumah tangga. Tapi aku tidak mau dengar. Aku berkeyakinan bahwa pria
harus pula berkarir. Tidak terkurung dalam kubus yang disebut rumah.”
“Heh, baguslah! Lanjutkan pekerjaanmu!”
“Tapi─”
Sally meninggalkannya. Dia lelah melayani orang yang
perkataannya kontradiktif. Orang seperti itu, mau dibilang bagaimana pun, sulit
menerima masukan. Lagi pula banyak pekerjaan lain yang lebih penting daripada
urusan Agus, pikirnya. Dia melempar pantat kembali ke kursinya dan menyelia
beberapa berkas yang menggunung di atas meja. Tiba-tiba perutnya mual.
****
Sebelum menuju rumah, Sally mampir ke toko buku. Dia ingin
membeli sebuah novel untuk Hendro. Novel yang digadang-gadang menyuarakan pria.
Berbagai ulasan menyebutkan bahwa penulisnya adalah seorang maskulinis. Novel
yang akan dibelinya ini adalah representasi dari pengalaman si penulis dalam
membongkar hegemoni wanita.
“Menarik,” gumam Sally, membolak-balikkan sampul buku itu.
Ketika menuju kasir─hendak membayar, Sally dihentikan SPB
(Sales Promotion Boy). SPB itu menawarkan produk El-men, susu yang memicu
terbentuknya otot tubuh pada pria. Sally jengah mendengar bualan produk
tersebut. Dia mencintai Hendro bukan karena fisik, melainkan karakternya. Maka
tak perlu benar memaksa Hendro yang pada dasarnya kurus menjadi atletis agar
dia birahi. Sally menolaknya dengan halus.
“Delapan puluh ribu,” kata kasir, sambil memasukkan buku
yang dibeli Sally dalam kantong plastik.
Sally merogoh dompetnya. Sebelum memberi uang itu, dia
mengambil sebuah majalah Men’s Fashion di rak dekat kasir. “Hitung ini juga!”
Selagi menunggu uang kembalian, Sally membayangkan bahwa
Hendro pasti suka dengan belanjaannya, terutama majalah Men’s Fashion. Semenjak
mereka menikah, Hendro semakin gila fashion. “Baiknya
kamu memakai blues biru ini Ma. Tidak! Jens itu jangan dipadu dengan kemeja
putih. Oh, rok merah ini baiknya dipakai hari Senin.” Begitulah Hendro setiap
hari memperhatikan penampilan Sally. Saat pesta, Hendro selalu tampil luar
biasa. Hampir semua wanita melirik padanya. Kalau sudah begitu, Sally hanya
bisa tersipu, menerima pujian betapa beruntung dirinya mendapatkan pria semodis
Hendro.
“Ya, Halo!” Sally menerima panggilan dari ponselnya.
“Kau di mana?”
“Di jalan. Mengendarai mobil. Menuju rumah.”
“Bisa ke markas. Penting!”
“Tunggulah 15 menit lagi.”
Sally terpaksa memutar arah. Kembali ke kota. Dia
bertanya-tanya: Ada apa gerangan sehingga Prisly memintanya ke markas. Apa
persoalan kemarin, saat Prisly mengatakan bahwa Hana sedang ditimpa kesulitan.
Sally menekan tombol ponselnya menghubungi Hendro, dan mengatakan bahwa dia
telat pulang. Di ujung saluran, Hendro hanya menjawab seraya menggerutu, “Apa
boleh buat. Kami terpaksa makan malam tanpamu lagi.”
****
Tempat pertemuan mereka terbilang mewah. Memiliki live music dan
aneka masakan dunia. Apabila ingin bicara empat mata, tanpa terganggu keriuhan,
tempat itu menyediakan kamar-kamar pertemuan. Biasanya hanya tamu yang penting
saja yang menggunakan kamar itu. Selain ongkos sewa yang mahal, tidak sembarang
orang dapat menyewanya. Beruntunglah, mereka adalah tamu setia dan sudah
dikenal sang pemilik. Sehingga mudah memintanya sewaktu-waktu, termasuk untuk
urusan malam ini.
“Bagaimana di jalan tadi?” kata Prisly, menyilakan Sally
duduk dan melihat-lihat daftar menu.
“Seperti bisa,” jawab Sally, “macet.” Dia kemudian memesan
tuna segar kepada pelayan.
“Ah ya, aku betul-betul minta maaf,” kata Prisly.
“Karenaku, kau melewatkan makan malam lagi bersama keluargamu.”
“It’s oke!” tukas
Sally. “Itulah guna sahabat. Apa yang kau ingin bicarakan?”
Prisly ragu sesaat. Di ujung matanya mulai dipenuhi
bulir-bulir air. Sally cepat menangkap: ada yang tidak beres. Sally meyakinkan
Prisly bahwa dia siap membantu. Prisly kemudian menceritakan semua hal yang
melandanya. Satu persatu. Sampai tiba pelayan mengetuk kamar dan meletakkan
makanan yang mereka pesan.
“Aku akan memberi saran sebagai sahabat,” kata Sally,
selesai pelayan tersebut menutup kembali pintu kamar. “Walaupun begitu,
keputusan tetap ada di tanganmu. Ini adalah hidupmu. Kau sendiri yang harus
ketuk palu. Dan, saranku adalah terima masa lalunya.”
“Maksudmu menerima bahwa dia tidak perjaka lagi?”
“Hei, kau menikah karena perjakanya atau orangnya, sih?
Kalau yang kau cari perjakanya, tinggalkan dia! Cari yang masih perjaka.
Simpel, kan? Tapi kalau kau mencintai karena orangnya, kau tidak boleh
semena-mena. Ayolah! Tidak ada yang sempurna di dunia ini, Prisly. Kau pasti
pernah melakukannya juga, kan? Tapi kenapa kau sulit menerima saat calon
pasanganmu melakukan itu. Dalam perspektifku, dia telah berusaha jujur padamu,
sebagai bukti cintanya, sebelum kalian menikah.”
Sally melanjutkan lagi. “Betul bahwa laki-laki seharusnya
menjaga keperjakaan mereka,” kali ini berusaha lebih bijak. “Tapi rasanya tidak
adil bila kau menilai baik atau buruknya seseorang berdasarkan perjaka. Bisa
jadi ketidakperjakaan calon pasanganmu saat ini telah memberinya pelajaran.
Selain itu, pelajaran pula bagimu untuk menerima ketidaksempurnaan yang
dihadiahkan Tuhan.”
Hening sesaat.
“Jawablah Prisly, apakah kau mencintainya?”
“Ya.”
“Kau selalu memikirkannya, setiap waktu, setiap kalian
berpisah?”
“Ya.”
“Bagus! Mari kita habiskan makanan yang mulai dingin ini
dan pergi secepatnya!”
****
Pukul menunjukkan dua belas malam di dasbor mobil. Sally
menginjak gas dalam-dalam. Dia tahu, Hendro pasti sedang menunggunya di rumah.
Suaminya itu tidak bisa tidur kalau belum ada dirinya. Sally senyum-senyum
sendiri saat mengingat awal pernikahan mereka. Dimana Hendro selalu punya
alasan untuk dibawa saat dia mendapat tugas ke luar kota. Suami yang posesif,
gumamnya, membuang ludah menunggu antrian masuk ke tol.
“Halo cantik!” Sally mendengar suara dari celah kaca yang
dia buka barusan. “Apakah kau mencariku? Malam ini aku akan memberimu separuh
harga.”
Sally mual. Dia tidak menyangka dihampiri gigolo. Dia
menampik halus. “Suamiku menunggu di rumah. Aku harus menyimpan tenaga
untuknya.”
“Ok!” jawab gigolo. “Salam buat suamimu,” Gigolo itu pergi
dengan raut kecewa.
Sally teringat kembali, saat mendapat tugas kantor di
sebuah kota di ujung negeri beberapa tahun lalu. Di kota itu syariat agama
diberlakukan. Tidak mudah nampak gigolo di sana. Jangankan gigolo, ketika
siang, para pria diwajibkan memakai tudung. Bila mereka melanggar, bersiaplah
untuk ditangkap dan diadili. Hendro pada hari-hari pertamanya di sana lebih
banyak menghabiskan waktu di kamar. Dia enggan mengikuti aturan semacam itu,
terutama harus mengenakan tudung yang membuatnya gerah.
“Kota bersyariat. Heh!”
****
Semaksimal mungkin Sally memasukkan mobil ke garasi tanpa
keriuhan. Begitu pula saat memutar kunci pada lubang pintu rumahnya, halus dan
sayup. Dilepasnya sepatu hak yang melekat di kaki agar tidak terdengar
‘tik-tok’. Lalu pelan-pelan mengganti baju kerjanya dengan daster yang biasa
disiapkan Hendro di kamar mandi. Sebelum memasuki kamarnya, dia menyempatkan
mengunjungi bilik Rico dan Ana. Betapa bahagianya dia melihat kedua anaknya itu
tidur pulas, hingga tanpa sadar Hendro telah mendekapnya dari belakang.
“Aku pikir kau sudah tidur,” kata Sally, terkejut.
“Kau mau aku buatkan teh?”
“Boleh.”
Hendro melepas dekapannya dan segera beringsut ke dapur.
Sally mengejarnya sambil bercerita mengenai permasalahan yang dihadapi Prisly.
Hendro mafhum.
“Kau sendiri apakah akan menerimaku kalau seandainya aku
tidak perjaka?”
“Oh, come on Hon!
Aku tidak mau berandai-andai. Pikiranku sudah lelah,” jawab Sally, diplomatis.
Hendro tersenyum, lalu meletakkan teh itu di atas meja.
“Bagaimana pekerjaanmu?” tanya Hendro kemudian.
“Hari ini aku banyak mual. Perutku sepertinya bermasalah.”
“Apa perlu kita ke dokter?”
“Tidak perlu. Aku hanya masuk angin.”
“Oke…”
Akan tetapi barulah Sally hendak menghirup teh buatan
suaminya itu, mualnya datang lagi. Dia berlari menuju kamar mandi. Hendro
mengikutinya dari belakang, dan memijat-mijat tengkuk Sally.
“Kenapa kau malah tersenyum?” tanya Sally, membasuh
mulutnya.
“Sepertinya kita perlu menyiapkan anggaran baru Ma. Tuhan
sepertinya telah menitipkan amanah-Nya satu lagi kepada kita.”
“Apa?”
“Kau mengandung. Aku yakin kau mengandung.”
Sally terenyuh. Dia tidak menyangka hamil lagi. Perasaan,
dia rutin menelan pil KB. Tapi kenapa bisa lolos. Pikirannya mulai melayang ke
mana-mana, membayangkan kerepotan yang bakal dihadapinya ke depan tatkala
perutnya mulai membesar. Dalam hati, kenapa pula wanita yang hamil? Apa Tuhan
tidak mengerti bahwa wanita pemimpin keluarga? Kalau tahu begitu, pikir Sally,
lebih baik menjadi laki-laki saja.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar