Jumat, 25 Desember 2015

[Cerita Rakyat] Bujud Keling & Tuah Burung Jalak


Cerita rakyat ini dibuat Agustus 2015 silam. Kurang lebih dua minggu penggarapannya. Tapi konsep, ide, dan jalan ceritanya, sudah satu bulan lebih di kepala. Cerita ini merupakan dekonstruksi dari cerita rakyat asal Lahat, yakni ‘Semesat dan Semesit’. Entahlah, dari puluhan cerita rakyat Sumatera Selatan yang pernah saya baca, hanya ‘Semesat dan Semesit’ yang paling berkesan. Maka itu, saat ada lomba cerita rakyat yang diselenggarakan Kemendikbud, saya tertarik menggarap ulang. Dan, walau akhirnya cerita rakyat ini gagal menang. Tapi saya senang, karena ini tulisan pertama saya bertema cerita rakyat. Selamat membaca!





BUJUD KELING DAN TUAH
BURUNG JALAK


Alkisah, hiduplah seorang raja di Lahat. Permaisurinya baru saja melahirkan putra kembar. Mereka beri nama Semesat dan Semesit.
Semesat dan Semesit memiliki keanehan sejak bayi: Semesat tidak sekalipun menangis, termasuk ketika persalinan; sedang Semesit telah mampu bicara pada usia satu bulan.
Lantaran Semesit telah mampu bicara lebih cepat dari umumnya bayi, dia jarang kekurangan air susu. Kalau lapar, dia tinggal memanggil ibunya. Begitu pula saat popoknya basah, dia akan memanggil pengasuhnya minta diganti.
Lain hal Semesat. Karena dia tidak sekalipun menangis, ibunya tidak tahu kalau dia lapar. Ibunya hanya mengira-ngira saja bila Semesat haus. Itu pun ketika tiba gilirannya, dia jarang mendapat air susu yang cukup; karena sudah dihabiskan Semesit yang selalu berteriak minta susu.
Selangkangan dan pantat Semesat juga lebam dan berbintik-bintik merah. Ini disebabkan popoknya jarang diganti. Pengasuhnya hanya tahu, bila bayi menangis bisa jadi dua hal: kehausan atau popok basah. Nah, Semesat tidak sekalipun menangis. Bagaimana pengasuh itu tahu?
Alhasil, lima belas tahun kemudian kedua anak yang kembar ini tumbuh dalam bentuk berbeda. Semesat lebih kurus dan memiliki ruam di sekujur tubuhnya, sedang Semesit bertubuh besar dan bersih.
Raja enggan berkomentar mengenai ketimpangan fisik anak kembarnya itu. Dia hanya tahu, permaisuri dan para pembantunya pasti telah melakukan terbaik buat putra-putranya.
Pada suatu hari, Semesit meminta izin kepada ayahnya mengikuti pertandingan bola ranjang.
“Ayahanda, pertandingan kali ini begitu berarti buat ananda. Ayahanda tahu, regu kita selalu kalah atas regu seberang lima kemarau berturut-turut. Ananda ingin menbalasnya.”
Raja tersenyum lalu berkata, “Tak usahlah. Niatmu sudah keliru. Balas dendam hanya menghadirkan malapetaka.”
“Tapi Ayahanda, ini pertandingan bola ranjang, bukan perkelahian.”
“Bukankah kadang kala juga berakhir perkelahian?”
“Ananda janji, Ayahanda. Itu tidak akan terjadi.”
Karena mendapat desakan terus dari Semesit, raja mengambil jalan tengah. “Baiklah. Tapi dengan syarat, kau harus sertakan Semesat.”
“Sertakan Semesat!” ulang Semesit, heran. “Dia tidak pandai bermain bola ranjang wahai Ayahanda. Lagi pula tubuhnya terlalu kurus untuk ditunggang.”
“Kalau begitu jadikan dia penunggang!” kata raja. “Tubuhnya yang kurus itu akan terasa ringan bagi yang ditunggang, bukan?”
Semesit kehabisan kata-kata.
“Kalau Ayahanda pinta demikian, apa dayaku menolak. Ananda akan sertakan Semesat dalam pertandingan.”
Raja puas.
***
Bola ranjang adalah pertandingan terkemuka kala itu. Setiap anak gemar memainkannya. Pertandingan ini terbagi dua regu. Masing-masing regu terdapat tiga pasang, terdiri penunggang dan yang ditunggang (mendukungi). Mereka harus kerja sama untuk memasukkan bola ke keranjang lawan. Caranya: penunggang memberi perintah kepada yang ditunggang ke arah yang diinginkan. Setelah mendapat posisi yang pas, penunggang melempar bola tersebut ke keranjang lawan. Bila masuk, berhak mendapat satu angka, dan seterusnya. Penunggang dan yang ditunggang bisa berganti posisi; disesuaikan kebutuhan dan siasat masing-masing regu.
Pada babak pertama Semesit meminta saudaranya, Semesat, menjadi yang ditunggang.
“Tapi bukankah Ayahanda memintaku menjadi penunggang?” tanya Semesat.
“Akan aku berikan nanti,” jawab Semesit.
Pertandingan pun dimulai. Jelas timpang. Semesat yang bertubuh kurus harus menunggangi Semesit yang bertubuh besar. Selama babak pertama itu kaki jemari Semesat lecet-lecet dan bengkak; punggung dan dengkulnya terasa nyeri.
“Kau memang tidak berguna!” hardik Semesit, mengetahui mereka tertinggal di babak pertama. “Gara-gara kau, kita kehilangan banyak angka!”
Semesat ingin sekali menangis sambil menunjukkan keadaan kakinya yang luka kepada Semesit. Tapi sayangnya dia tidak bisa menangis. Sehingga Semesit mengira Semesat baik-baik saja.
“Kau harus menjadi penunggang lagi!”  hardik Semesit kembali. “Kau harus membayar kesalahanmu pada babak pertama!”
Pertandingan babak kedua pun dimulai. Kali ini lebih parah, kaki Semesat koyak. Darah bercucuran di tanah. Semesit tetap acuh dan terus meneriaki Semesat untuk berjalan ke arah yang diinginkannya. Hingga babak kedua berakhir, regu Semesit kalah.
“Curang!” Semesit protes. “Regu lawan curang! Mereka melukai tungganganku. Lihatlah, saudaraku, Semesat, kakinya koyak. Ini pasti ulah mereka!”
Regu lawan yang mendengar tuduhan itu naik pitam. Satu di antara mereka menantang duel. Dengan kemampuan bela diri yang diperolehnya dari hulubalang kerajaan, duel itu begitu mudah bagi Semesit. Tak sampai sepuluh gerakan, lawannya telah roboh, bersamaan kabar yang diterima oleh baginda raja.
***
“Kelakuanmu telah mencoreng mukaku!” raja murka. “Kau harus mendapat hukuman! Kau harus keluar dari istana dan meninggalkan Lahat hingga waktu yang tak ditentukan.”
Permaisuri mendekat, berupaya membujuk raja agar hukuman itu diperingan. Tapi raja kukuh. Peraturan adalah peraturan. Siapa pun yang berkelahi dan menyakiti sesama di wilayahnya harus keluar dari Lahat, walau itu keluarganya sendiri.
“Kalau itu yang Ayahanda inginkan, apa dayaku menolak,” kata Semesit. “Tapi Ayahanda harus tahu bahwa Semesat juga terlibat perkelahian. Lihatlah kakinya penuh luka dan bengkak.”
Raja terbelalak, “Betul Semesat?”
“Tidak benar Ayahanda. Luka ini bukan disebabkan perkelahian, tetapi kemalangan selama pertandingan.”
“Semesat berbohong Ayahanda!” sergah Semesit.
“Aku tidak berbohong!” balas Semesat.
Raja bimbang. Dia meminta nasihat menterinya.
“Orang yang berbohong akan terbaca dari wajahnya wahai yang mulia,” kata si menteri. “Lihatlah! Dari tadi hamba perhatikan, wajah Semesat tampak tiada bersedih dengan luka-lukanya itu. Kalau betul lukanya itu kemalangan, seharusnya setelah tiba di sini, dia menangis. Tapi dia tenang-tenang saja.”
Mendengar saran dari menterinya itu, raja terhasut. Sehingga diputuskan bahwa Semesat dan Semesit secara bersamaan diusir dari Lahat.
Di gerbang kerajaan, ibunya berpesan: selama pengusiran, berbuat baiklah kepada sesama. Jangan menggunakan kecakapan bela diri untuk hal-hal yang tidak berguna. Mengalah, demi terhindar percekcokan, lebih kesatria daripada meneruskan.
“Nah, berangkatlah sekarang! Ibu selalu mendoakan kalian.”
Berurai air mata Semesit mencium tangan ibunya. Tak terbayangkan, segala kenikmatan yang diperolehnya semasa tinggal di istana berakhir. Semesat, sama sekali tidak memikirkan itu, yang ada di kepalanya adalah kecemasan bahwa ibunya akan jatuh sakit karena kepergian mereka. Tapi Semesat tidak dapat mengungkapkan kesedihannya melalui air mata. Karena dia tidak bisa menangis.
***
Tanpa terasa pengusiran itu telah berjalan dua tahun. Kini, tubuh mereka ringkih seperti kayu kering. Telah banyak sudah wilayah yang mereka sambangi. Tapi tak satu pun yang bersedia menerima kehadiran mereka. Satu-satunya cara agar tetap hidup adalah berdiam di hutan. Mereka bisa memakan buah yang rimbun di sana. Atau berburu kancil yang terlihat tiap tiga bulan sekali. Semesit melantunkan kemalangannya:

Naseb malang nian
Ditinggalkan kundang
Kumbang suhang terbang
Terbang jauh malang
Sukat malang badan
Senasep bunge lalang
Tinggal dusun laman
Kemambang midang suhang
Ngeding sukat dek betulan
Sepanjangan…
Ngape nian tibe badan sukat malang[1]

Begitu seterusnya yang dilakukan Semesit bila memasuki malam. Ketidaksiapannya pada kesengsaraan membuatnya menjadi pengeluh. Sampai suatu ketika, saat mereka beristirahat di bawah pohon, hinggap dua ekor burung Jalak dan berkata: “Siapa yang memakan dagingku akan bahagia hari itu juga.” Sedang satunya lagi: “Siapa yang memakan dagingku, menderita dulu, baru kemudian bahagia.”
Semesit buru-buru membidik burung yang mendapat kebahagiaan hari itu juga. Dia ingin secepatnya mengakhiri segala penderitaan yang diterimanya. Tapi sayang, burung itu begitu gesit dan lincah. Bidikan Semesit selalu meleset. Lain hal Semesat, cukup sekali bidik, burung itu jatuh. Begitu pula pada burung satunya, jatuh.
“Izinkan aku memakan burung yang mendapat kebahagiaan hari itu juga,” pinta Semesit, sambil menangis. “Aku terlalu menderita. Aku bisa mati.”
Karena tak tega melihat penderitaan saudaranya, Semesat menyerahkan burung kebahagiaan hari itu juga kepada Semesit.
“Tapi berjanjilah, kau tidak melupakan aku,” pesan Semesat.
Semesit mengangguk. Mereka lalu memakan burung itu. Semesit memakan burung kebahagiaan hari itu juga, sedang Semesat memakan burung penderitaan dulu, baru kemudian bahagia. Dan, keajaiban muncul seketika. Sejumlah orang berpakaian zirah keluar dari balik semak dan mengelilingi mereka.
“Pangeran!” teriak salah seorang itu. “Sudah sepuluh hari kami mencarimu. Di sini kau rupanya.”
Semesit bingung. Dia tidak mengenal mereka. Selama di Istana Lahat, tidak ada pasukan yang memiliki rupa seperti mereka. Belum sempat Semesit mengajukan pertanyaan, salah seorang menyelimutinya dengan jubah biru yang disulam dengan benang emas.
“Mari kita ke istana Pangeran! Raja sudah cemas.”
Mereka menaikkan Semesit ke kuda zirah. Lalu pergi, tanpa mengucapkan sepatah kata pun kepada Semesat yang telah berjasa memberikannya burung kebahagiaan hari itu juga.
***
Sungguh beruntung nasib Semesit. Setibanya di istana raja, dia diperlakukan bak putra mahkota. Dia dilayani para selir yang cantik-cantik dan pengawal yang gagah. Belumlah dia mengucapkan keinginannya, para pembantu itu sudah mengerti. Ternyata burung yang dimakannya mujarab. Semua orang mengiranya pangeran. Padahal, raja dan ratu bukanlah ayah dan ibunya. Dan, dia tidak tahu kerajaan apa ini.
Semesit duduk di sebelah raja. Tak lama kemudian, raja memanggil Putri Linting.
“Bagaimana menurutmu?” tanya raja.
Dada Semesit berdesir. Belum pernah dia melihat wanita secantik Putri Linting.
“Kalau kau mau. Aku akan nikahkan kalian malam ini juga,” kata raja. “Aku sudah tua. Ingin meletakkan tahta segeranya dan memiliki cucu.”
Semesit mengangguk. Mereka pun dinikahkan. Keesokan harinya, Semesit dinobatkan menjadi raja.
***
Nasib berlawanan didapati Semesat. Setelah Semesit naik kuda zirah dan pergi meninggalkannya, Semesat ditangkap pasukan kerajaan. Dia dituduh sebagai Bujud Keling. Antara raja dan Bujud Keling memiliki perseteruan abadi. Raja pernah merebut kekasih Bujud Keling dan mencampakkannya begitu saja setelah lima tahun tidak memberi keturunan. Bujud Keling murka. Dia menganggap raja sewenang-wenang dan berjanji akan menculik putra mahkota bila suatu hari raja diberi keturunan. Dan, janji itu terlaksana. Raja kehilangan putra mahkotanya. Pencarian besar-besaran pun dimulai. Raja mengerahkan seluruh kekuatan dan pasukannya untuk menemukan Putra Mahkota dan Bujud Keling. Hingga akhirnya, hari itu, Semesit dianggap putra mahkota oleh sejumlah pasukan berkat kesaktian burung kebahagiaan hari itu juga.
“Mengakulah! Kau Bujud Keling, kan?” hardik algojo, sambil memainkan cambuknya.
Semesat tetap diam. Dia lelah menjelaskan bahwa dirinya adalah Semesat putra Raja Lahat, bukan Bujud Keling.
“Kau masih tidak mau ngaku, heh. Rasakan ini!”
Semesat menjerit. Cambuk itu betul-betul sakit. Dia merasa, punggungnya telah merah dan koyak.
“Kau tahu,” kata algojo. “Selama ini tidak ada yang mampu menahan air mata terkena sebatanku. Maka itu, aku akan buat kau menjerit hingga air matamu jatuh.”
Malangnya, Semesat tidak bisa mengeluarkan air mata. Sehingga, algojo terus menerus mencambuknya. Hingga algojo kelelahan sendiri. Karena kehabisan akal, bagaimana membuat Semesat mengeluarkan air mata, algojo menyuruh beberapa anak buahnya memasukkan Semesat ke dalam gentong sempit lima hari lima malam tanpa diberi makan.
Ketika gentong itu dibuka kembali, betapa terkejutnya algojo. Semesat masih belum mengeluarkan air mata. Dia lalu membicarakan kesaktian ini kepada atasannya; padahal itu bukan kesaktian, Semesat hanya tidak bisa menangis, dia sebetulnya menderita. Oleh atasannya, Semesat dikirim ke Bukit Asam, dipekerjakan sebagai penambang batu.
Sewindu Semesat menghabiskan waktunya sebagai penambang batu. Tetap membuatnya tidak pantang menyerah. Kini, badannya tumbuh kekar, lengannya besar dan berotot. Tak aneh, ini disebabkan hariannya yang selalu memegang pahat dan palu. Bersama teman-temannya yang senasib, siang dan malam mereka bergelayut mengantarkan batu-batu kepada mandor. Semakin banyak batu yang diantar, semakin aman mereka dari siksa cambuk.
Suatu hari, algojo datang kembali memantau Semesat. Dia ingin menyaksikan penderitaan Semesat yang dikiranya Bujud Keling itu. Tapi alangkah terkejutnya dia, mengetahui ternyata Semesat malah bertambah gagah. Darah algojo mendidih. Dia memerintahkan bawahannya untuk meringkus kembali Bujud Keling.
“Aku pikir, dengan dikirimnya kau ke sini, kau akan mati perlahan. Tapi aku salah.”
Semesat diikat dan diseret menggunakan kuda hingga ke pelabuhan. Wajahnya disarungi hingga dua bola matanya saja yang terlihat.
“Kau akan ikut dalam pelayaran. Kau akan berguna bagi raja.”
Tak lama berselang, terompet berbunyi. Raja memasuki kapal dan segera memeriksa kesiapan pelayaran. Pelayaran kali ini sangat jauh. Mereka menuju Malaka. Raja mengikuti sayembara memperebutkan hati Putri Gaung Alam yang terkenal akan keanggunan laku dan parasnya.
“Siapa orang bertopeng itu?” tanya raja kepada algojo.
“Itu Bujud Keling wahai yang mulia. Dia sengaja hamba bawa sebagai anak buah kapal.”
Karena bertopeng, Semesit tidak menyadari bahwa Bujud Keling itu adalah saudaranya, Semesat. Begitu sebaliknya, Semesat tidak dapat menunjukkan diri kepada Semesit.
“Aku yakin, Putri Gaung Alam akan memilihku. Karena aku telah memakan burung kebahagiaan,” gumam Semesit.
Setelah kapal bersandar di Pelabuhan Malaka. Semesit segera menemui Raja Malaka. Dia membawakan oleh-oleh melimpah agar Raja Malaka menerimanya sebagai menantu.
“Aku terima kebaikanmu,” kata Raja Malaka. “Tapi biarlah putriku yang menentukan. Tunggulah beberapa hari.”
***
Seekor kucing betina masuk ke geladak kapal. Di lehernya terlilit tali yang membuatnya tercekik. Dia meminta tolong; menggunakan bahasanya.  Tapi semua awak kapal acuh. Dia lalu pergi ke bilik raja; siapa tahu raja membantu. Tapi dia mendapat perlakuan mengecewakan. Dia ditendang raja. Bahkan, raja menyuruh algojo menangkapnya.
Dia pun berlari. Sekencang mungkin. Secepat angin. Hingga menabrak Bujud Keling yang terkurung dalam kandang.
“Kenapa lehermu?” kata Bujud Keling. “Kasihan sekali. Kau pasti tersiksa.”
Didekapnya kucing betina itu, lalu dengan segala cara, Bujud Keling melepas tali yang melilit leher kucing itu.
“Sana! Pergilah! Kau bebas sekarang.”
Kucing itu menatap Bujud Keling sejenak. Dia sepertinya ingin mengetahui siapa gerangan di balik topeng itu. Lalu pergi.
***
Tiga hari kemudian, gaung Istana Malaka menggema. Semua pembesar berkumpul untuk mendengar siapakah orang yang terpilih sebagai suami Putri Gaung Alam. Raja menyampaikan bahwa orang itu berada di kapal Raja Semesit.
“Dia bertopeng dan saat ini sedang terkurung dalam kandang,” jelas Raja Malaka.
Raja Semesit tahu, yang dimaksud adalah Bujud Keling. Betapa kecewanya dia. Kenapa Bujud Keling? Karena sulit menerima kenyataan, Semesit memerintahkan anak buah kapal menarik sauh dan segera meninggalkan Malaka. Saat Putri Gaung Alam mencoba meminta agar pemuda bertopeng itu dilepaskan, Semesit mengatakan bahwa tidak ada pemuda yang dimaksud. Putri Gaung Alam seketika bersedih, lalu pingsan.
Di tengah selat, Semesit memanggil Bujud Keling. Dia ingin tahu siapa gerangan di balik topeng itu. Ketika dibuka, tubuh Semesit bergidik.
“Bukan! Kau pasti bukan!”
“Aku saudaramu wahai Semesit.”
“Tidak mungkin. Dia di hutan, bukan di sini.”
“Bila kau perlu bukti. Bukalah pakaianku. Badanku dipenuhi bintik-bintik merah.”
Semesit memerintahkan anak buahnya memeriksa. Dan benar, badan Bujud Keling dipenuhi bintik merah.
“Kenapa?” Semesit bingung. “Kenapa harus kau? Kenapa khasiat burung kebahagiaan memudar?”
“Karena kau telah menyakiti permaisurimu, wahai Semesit. Sebelum kapal berlayar, permaisurimu, Putri Linting, menjumpaiku karena penasaran akan sosok Bujud Keling. Entah kenapa dia lalu bercerita tentang kekecewaannya akan dirimu yang khianat. Sehingga itu menjadi doa, dan melunturkan tuah burung kebahagiaan.”
“Omong kosong!” Semesit naik pitam. Dia mencengkram pundak Semesat dan digiringnya ke pinggir kapal.
“Sebelum kau lempar aku,” kata Semesat, “aku ingin mendengar bahwa kau mengakuiku sebagai saudaramu.”
“Tidak!” jawab Semesit. “Kau bukan saudaraku!”
Semesat jatuh ke dalam laut. Karena tangannya terikat, dia tidak dapat berenang. Nafasnya kini tersedak. Perutnya telah terisi air laut. Dia berdoa: “Gusti… sebelum Engkau mencabut nyawaku, biarkan aku menangis.”
Dari kedua bola mata Semesat tiba-tiba keluar air mata. Air mata itu bercampur air laut yang kemudian mendatangkan gelombang pasang nan dahsyat. Kapal Semesit terhempas ke sana kemari hingga akhirnya karam di Selat Malaka. Tamatlah riwayat Semesit. Sedang, Semesat selamat dan terdampar di pinggir pantai.
***
“Kau akhirnya siuman,” kata Putri Gaung Alam, menggenggam jemari Semesat. Semesat bingung: di mana dirinya? Kepalanya terasa sakit.
“Kau pingsan selama enam hari,” lanjut Putri Gaung Alam. “Maka itu, jangan banyak bergerak. Biarkan tubuhmu pulih. Aku akan jelaskan bagaimana kau bisa di sini.”
Putri Gaung Alam lalu menceritakan perihal kucing yang pernah ditolong Semesat. Kucing itu ternyata kepunyaan Putri Gaung Alam. Sewaktu Semesat terdampar di pantai, kucing itu yang memberitahu Putri Gaung Alam, sehingga Semesat cepat mendapat pertolongan.
“Aku sudah bicara pada ayahku. Bahwa kau orang yang kumaksud kala itu. Maukah kau menikah denganku?”
Semesat terdiam. Dia bertanya-tanya: apakah ini mimpi? Diamati lagi di sekeliling kamar, lalu jendela, dan dia bisa melihat burung-burung terbang dan bernyanyi di luar sana.
“Baiklah. Tapi dengan satu syarat. Kau harus ikut kemana aku pergi. Aku rindu sekali pada ayah dan ibuku.”
Putri Gaung Alam setuju. Satu bulan kemudian mereka menikah. Tak perlu berlama-lama, Semesat segera membawa istrinya menuju Lahat. Raja Malaka memberikan banyak hadiah kepada Semesat.
“Sampaikan salamku pada mereka,” pesan Raja Malaka.
Sesampai di Lahat, semua orang keheranan. Siapa gerangan yang datang membawa arak-arakan kuda sebanyak empat puluh ekor. Akhirnya, penasaran itu terjawab tatkala Semesat turun dari tenda bersama istrinya. Mereka tidak menyangka Semesat masih hidup. Karena bertahun-tahun lamanya, pasukan yang diutus Raja Lahat sama sekali tidak menemukan jejak Semesat dan Semesit.
“Maafkan Ayahandamu ini Semesat,” kata raja, setibanya Semesat di hadapannya. “Ayahanda khilaf. Seharusnya Ayahanda hati-hati mendengarkan Semesit dan menteri busuk itu.”
Semesat terharu. Dia menitikkan air mata.
“Apa yang terjadi, semuanya atas kehendak Gusti. Ananda tidak akan mengungkit itu lagi. Karena terpenting, ananda bahagia bisa bersua ayah dan ibu kembali.”
Mereka kemudian saling berpelukkan. Semesat kemudian memperkenalkan istrinya, Putri Gaung Alam. Bukan main senangnya raja dan ratu melihat paras cantik dan anggun menantunya itu. Dua tahun berikutnya, Semesat menggantikan ayahnya sebagai Raja Lahat. Dia menjadi raja yang adil, bijaksana, serta dekat pada rakyatnya.
***
Pada peringatan sepuluh tahun wafatnya Raja Semesat, sejumlah bekas penambang batu di Bukit Asam berkumpul di Lahat. Mereka memahat sebuah bukit sebagai pusara Raja Semesat yang berjasa membebaskan mereka dari ketidakadilan di Bukit Asam. Dewasa ini, penduduk menyebut pusara itu sebagai Bukit Tunjuk.


[1] Diambil dari lagu daerah asal Lahat, Sukat Malang, ciptaan Karim Bani.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar