Cerita
rakyat ini dibuat Agustus 2015 silam. Kurang lebih dua minggu penggarapannya. Tapi
konsep, ide, dan jalan ceritanya, sudah satu bulan lebih di kepala. Cerita ini
merupakan dekonstruksi dari cerita rakyat asal Lahat, yakni ‘Semesat dan
Semesit’. Entahlah, dari puluhan cerita rakyat Sumatera Selatan yang pernah
saya baca, hanya ‘Semesat dan Semesit’ yang paling berkesan. Maka itu, saat ada
lomba cerita rakyat yang diselenggarakan Kemendikbud, saya tertarik
menggarap ulang. Dan, walau akhirnya cerita rakyat ini gagal menang. Tapi saya
senang, karena ini tulisan pertama saya bertema cerita rakyat. Selamat membaca!
BUJUD KELING DAN TUAH
BURUNG JALAK
Alkisah,
hiduplah seorang raja di Lahat. Permaisurinya baru saja melahirkan putra
kembar. Mereka beri nama Semesat dan Semesit.
Semesat
dan Semesit memiliki keanehan sejak bayi: Semesat tidak sekalipun
menangis, termasuk ketika persalinan; sedang Semesit telah mampu bicara pada
usia satu bulan.
Lantaran
Semesit telah mampu bicara lebih cepat dari umumnya bayi, dia jarang kekurangan
air susu. Kalau lapar, dia tinggal memanggil ibunya. Begitu pula saat popoknya
basah, dia akan memanggil pengasuhnya minta diganti.
Lain
hal Semesat. Karena dia tidak sekalipun menangis, ibunya tidak tahu kalau dia
lapar. Ibunya hanya mengira-ngira saja bila Semesat haus. Itu pun ketika tiba
gilirannya, dia jarang mendapat air susu yang cukup; karena sudah dihabiskan
Semesit yang selalu berteriak minta susu.
Selangkangan
dan pantat Semesat juga lebam dan berbintik-bintik merah. Ini disebabkan popoknya
jarang diganti. Pengasuhnya hanya tahu, bila bayi menangis bisa jadi dua hal:
kehausan atau popok basah. Nah, Semesat tidak sekalipun menangis. Bagaimana
pengasuh itu tahu?
Alhasil,
lima belas tahun kemudian kedua anak yang kembar ini tumbuh dalam bentuk
berbeda. Semesat lebih kurus dan memiliki ruam di sekujur tubuhnya, sedang
Semesit bertubuh besar dan bersih.
Raja
enggan berkomentar mengenai ketimpangan fisik anak kembarnya itu. Dia hanya
tahu, permaisuri dan para pembantunya pasti telah melakukan terbaik buat
putra-putranya.
Pada
suatu hari, Semesit meminta izin kepada ayahnya mengikuti pertandingan bola
ranjang.
“Ayahanda,
pertandingan kali ini begitu berarti buat ananda. Ayahanda tahu, regu kita selalu
kalah atas regu seberang lima kemarau berturut-turut. Ananda ingin menbalasnya.”
Raja
tersenyum lalu berkata, “Tak usahlah. Niatmu sudah keliru. Balas dendam hanya
menghadirkan malapetaka.”
“Tapi
Ayahanda, ini pertandingan bola ranjang, bukan perkelahian.”
“Bukankah
kadang kala juga berakhir perkelahian?”
“Ananda
janji, Ayahanda. Itu tidak akan terjadi.”
Karena
mendapat desakan terus dari Semesit, raja mengambil jalan tengah. “Baiklah.
Tapi dengan syarat, kau harus sertakan Semesat.”
“Sertakan
Semesat!” ulang Semesit, heran. “Dia tidak pandai bermain bola ranjang wahai
Ayahanda. Lagi pula tubuhnya terlalu kurus untuk ditunggang.”
“Kalau
begitu jadikan dia penunggang!” kata raja. “Tubuhnya yang kurus itu akan terasa
ringan bagi yang ditunggang, bukan?”
Semesit
kehabisan kata-kata.
“Kalau
Ayahanda pinta demikian, apa dayaku menolak. Ananda akan sertakan Semesat dalam
pertandingan.”
Raja
puas.
***
Bola
ranjang adalah pertandingan terkemuka kala itu. Setiap anak gemar memainkannya.
Pertandingan ini terbagi dua regu. Masing-masing regu terdapat tiga pasang, terdiri
penunggang dan yang ditunggang (mendukungi). Mereka harus kerja sama untuk memasukkan
bola ke keranjang lawan. Caranya: penunggang memberi perintah kepada yang ditunggang
ke arah yang diinginkan. Setelah mendapat posisi yang pas, penunggang melempar
bola tersebut ke keranjang lawan. Bila masuk, berhak mendapat satu angka, dan
seterusnya. Penunggang dan yang ditunggang bisa berganti posisi; disesuaikan
kebutuhan dan siasat masing-masing regu.
Pada
babak pertama Semesit meminta saudaranya, Semesat, menjadi yang ditunggang.
“Tapi
bukankah Ayahanda memintaku menjadi penunggang?” tanya Semesat.
“Akan
aku berikan nanti,” jawab Semesit.
Pertandingan
pun dimulai. Jelas timpang. Semesat yang bertubuh kurus harus menunggangi
Semesit yang bertubuh besar. Selama babak pertama itu kaki jemari Semesat
lecet-lecet dan bengkak; punggung dan dengkulnya terasa nyeri.
“Kau
memang tidak berguna!” hardik Semesit, mengetahui mereka tertinggal di babak
pertama. “Gara-gara kau, kita kehilangan banyak angka!”
Semesat
ingin sekali menangis sambil menunjukkan keadaan kakinya yang luka kepada Semesit.
Tapi sayangnya dia tidak bisa menangis. Sehingga Semesit mengira Semesat
baik-baik saja.
“Kau
harus menjadi penunggang lagi!” hardik Semesit
kembali. “Kau harus membayar kesalahanmu pada babak pertama!”
Pertandingan
babak kedua pun dimulai. Kali ini lebih parah, kaki Semesat koyak. Darah
bercucuran di tanah. Semesit tetap acuh dan terus meneriaki Semesat untuk
berjalan ke arah yang diinginkannya. Hingga babak kedua berakhir, regu Semesit
kalah.
“Curang!”
Semesit protes. “Regu lawan curang! Mereka melukai tungganganku. Lihatlah,
saudaraku, Semesat, kakinya koyak. Ini pasti ulah mereka!”
Regu
lawan yang mendengar tuduhan itu naik pitam. Satu di antara mereka menantang
duel. Dengan kemampuan bela diri yang diperolehnya dari hulubalang kerajaan, duel
itu begitu mudah bagi Semesit. Tak sampai sepuluh gerakan, lawannya telah roboh,
bersamaan kabar yang diterima oleh baginda raja.
***
“Kelakuanmu
telah mencoreng mukaku!” raja murka. “Kau harus mendapat hukuman! Kau harus
keluar dari istana dan meninggalkan Lahat hingga waktu yang tak ditentukan.”
Permaisuri
mendekat, berupaya membujuk raja agar hukuman itu diperingan. Tapi raja kukuh.
Peraturan adalah peraturan. Siapa pun yang berkelahi dan menyakiti sesama di
wilayahnya harus keluar dari Lahat, walau itu keluarganya sendiri.
“Kalau
itu yang Ayahanda inginkan, apa dayaku menolak,” kata Semesit. “Tapi Ayahanda
harus tahu bahwa Semesat juga terlibat perkelahian. Lihatlah kakinya penuh luka
dan bengkak.”
Raja
terbelalak, “Betul Semesat?”
“Tidak
benar Ayahanda. Luka ini bukan disebabkan perkelahian, tetapi kemalangan selama
pertandingan.”
“Semesat
berbohong Ayahanda!” sergah Semesit.
“Aku
tidak berbohong!” balas Semesat.
Raja
bimbang. Dia meminta nasihat menterinya.
“Orang
yang berbohong akan terbaca dari wajahnya wahai yang mulia,” kata si menteri. “Lihatlah!
Dari tadi hamba perhatikan, wajah Semesat tampak tiada bersedih dengan
luka-lukanya itu. Kalau betul lukanya itu kemalangan, seharusnya setelah tiba
di sini, dia menangis. Tapi dia tenang-tenang saja.”
Mendengar
saran dari menterinya itu, raja terhasut. Sehingga diputuskan bahwa Semesat dan
Semesit secara bersamaan diusir dari Lahat.
Di
gerbang kerajaan, ibunya berpesan: selama pengusiran, berbuat baiklah kepada
sesama. Jangan menggunakan kecakapan bela diri untuk hal-hal yang tidak berguna.
Mengalah, demi terhindar percekcokan, lebih kesatria daripada meneruskan.
“Nah,
berangkatlah sekarang! Ibu selalu mendoakan kalian.”
Berurai
air mata Semesit mencium tangan ibunya. Tak terbayangkan, segala kenikmatan
yang diperolehnya semasa tinggal di istana berakhir. Semesat, sama sekali tidak
memikirkan itu, yang ada di kepalanya adalah kecemasan bahwa ibunya akan jatuh
sakit karena kepergian mereka. Tapi Semesat tidak dapat mengungkapkan
kesedihannya melalui air mata. Karena dia tidak bisa menangis.
***
Tanpa
terasa pengusiran itu telah berjalan dua tahun. Kini, tubuh mereka ringkih
seperti kayu kering. Telah banyak sudah wilayah yang mereka sambangi. Tapi tak
satu pun yang bersedia menerima kehadiran mereka. Satu-satunya cara agar tetap
hidup adalah berdiam di hutan. Mereka bisa memakan buah yang rimbun di sana.
Atau berburu kancil yang terlihat tiap tiga bulan sekali. Semesit melantunkan
kemalangannya:
Naseb malang nian
Ditinggalkan kundang
Kumbang suhang terbang
Terbang jauh malang
Sukat malang badan
Senasep bunge lalang
Tinggal dusun laman
Kemambang midang suhang
Ngeding sukat dek betulan
Sepanjangan…
Ngape nian tibe badan sukat malang[1]
Begitu
seterusnya yang dilakukan Semesit bila memasuki malam. Ketidaksiapannya pada kesengsaraan
membuatnya menjadi pengeluh. Sampai suatu ketika, saat mereka beristirahat di
bawah pohon, hinggap dua ekor burung Jalak dan berkata: “Siapa yang memakan
dagingku akan bahagia hari itu juga.” Sedang satunya lagi: “Siapa yang memakan
dagingku, menderita dulu, baru kemudian bahagia.”
Semesit
buru-buru membidik burung yang mendapat kebahagiaan hari itu juga. Dia ingin secepatnya
mengakhiri segala penderitaan yang diterimanya. Tapi sayang, burung itu begitu
gesit dan lincah. Bidikan Semesit selalu meleset. Lain hal Semesat, cukup
sekali bidik, burung itu jatuh. Begitu pula pada burung satunya, jatuh.
“Izinkan
aku memakan burung yang mendapat kebahagiaan hari itu juga,” pinta Semesit,
sambil menangis. “Aku terlalu menderita. Aku bisa mati.”
Karena
tak tega melihat penderitaan saudaranya, Semesat menyerahkan burung kebahagiaan
hari itu juga kepada Semesit.
“Tapi
berjanjilah, kau tidak melupakan aku,” pesan Semesat.
Semesit
mengangguk. Mereka lalu memakan burung itu. Semesit memakan burung kebahagiaan
hari itu juga, sedang Semesat memakan burung penderitaan dulu, baru kemudian
bahagia. Dan, keajaiban muncul seketika. Sejumlah orang berpakaian zirah keluar
dari balik semak dan mengelilingi mereka.
“Pangeran!”
teriak salah seorang itu. “Sudah sepuluh hari kami mencarimu. Di sini kau
rupanya.”
Semesit
bingung. Dia tidak mengenal mereka. Selama di Istana Lahat, tidak ada pasukan
yang memiliki rupa seperti mereka. Belum sempat Semesit mengajukan pertanyaan,
salah seorang menyelimutinya dengan jubah biru yang disulam dengan benang emas.
“Mari
kita ke istana Pangeran! Raja sudah cemas.”
Mereka
menaikkan Semesit ke kuda zirah. Lalu pergi, tanpa mengucapkan sepatah kata pun
kepada Semesat yang telah berjasa memberikannya burung kebahagiaan hari itu
juga.
***
Sungguh
beruntung nasib Semesit. Setibanya di istana raja, dia diperlakukan bak putra
mahkota. Dia dilayani para selir yang cantik-cantik dan pengawal yang gagah.
Belumlah dia mengucapkan keinginannya, para pembantu itu sudah mengerti.
Ternyata burung yang dimakannya mujarab. Semua orang mengiranya pangeran.
Padahal, raja dan ratu bukanlah ayah dan ibunya. Dan, dia tidak tahu kerajaan
apa ini.
Semesit
duduk di sebelah raja. Tak lama kemudian, raja memanggil Putri Linting.
“Bagaimana
menurutmu?” tanya raja.
Dada
Semesit berdesir. Belum pernah dia melihat wanita secantik Putri Linting.
“Kalau
kau mau. Aku akan nikahkan kalian malam ini juga,” kata raja. “Aku sudah tua. Ingin
meletakkan tahta segeranya dan memiliki cucu.”
Semesit
mengangguk. Mereka pun dinikahkan. Keesokan harinya, Semesit dinobatkan menjadi
raja.
***
Nasib
berlawanan didapati Semesat. Setelah Semesit naik kuda zirah dan pergi
meninggalkannya, Semesat ditangkap pasukan kerajaan. Dia dituduh sebagai Bujud
Keling. Antara raja dan Bujud Keling memiliki perseteruan abadi. Raja pernah
merebut kekasih Bujud Keling dan mencampakkannya begitu saja setelah lima tahun
tidak memberi keturunan. Bujud Keling murka. Dia menganggap raja
sewenang-wenang dan berjanji akan menculik putra mahkota bila suatu hari raja
diberi keturunan. Dan, janji itu terlaksana. Raja kehilangan putra mahkotanya.
Pencarian besar-besaran pun dimulai. Raja mengerahkan seluruh kekuatan dan
pasukannya untuk menemukan Putra Mahkota dan Bujud Keling. Hingga akhirnya,
hari itu, Semesit dianggap putra mahkota oleh sejumlah pasukan berkat kesaktian
burung kebahagiaan hari itu juga.
“Mengakulah!
Kau Bujud Keling, kan?” hardik algojo, sambil memainkan cambuknya.
Semesat
tetap diam. Dia lelah menjelaskan bahwa dirinya adalah Semesat putra Raja Lahat,
bukan Bujud Keling.
“Kau
masih tidak mau ngaku, heh. Rasakan ini!”
Semesat
menjerit. Cambuk itu betul-betul sakit. Dia merasa, punggungnya telah merah dan
koyak.
“Kau
tahu,” kata algojo. “Selama ini tidak ada yang mampu menahan air mata terkena
sebatanku. Maka itu, aku akan buat kau menjerit hingga air matamu jatuh.”
Malangnya,
Semesat tidak bisa mengeluarkan air mata. Sehingga, algojo terus menerus
mencambuknya. Hingga algojo kelelahan sendiri. Karena kehabisan akal, bagaimana
membuat Semesat mengeluarkan air mata, algojo menyuruh beberapa anak buahnya
memasukkan Semesat ke dalam gentong sempit lima hari lima malam tanpa diberi
makan.
Ketika
gentong itu dibuka kembali, betapa terkejutnya algojo. Semesat masih belum
mengeluarkan air mata. Dia lalu membicarakan kesaktian ini kepada atasannya;
padahal itu bukan kesaktian, Semesat hanya tidak bisa menangis, dia sebetulnya
menderita. Oleh atasannya, Semesat dikirim ke Bukit Asam, dipekerjakan sebagai penambang batu.
Sewindu
Semesat menghabiskan waktunya sebagai penambang batu. Tetap membuatnya tidak
pantang menyerah. Kini, badannya tumbuh kekar, lengannya besar dan berotot. Tak
aneh, ini disebabkan hariannya yang selalu memegang pahat dan palu. Bersama
teman-temannya yang senasib, siang dan malam mereka bergelayut mengantarkan
batu-batu kepada mandor. Semakin banyak batu yang diantar, semakin aman mereka
dari siksa cambuk.
Suatu
hari, algojo datang kembali memantau Semesat. Dia ingin menyaksikan penderitaan
Semesat yang dikiranya Bujud Keling itu. Tapi alangkah terkejutnya dia,
mengetahui ternyata Semesat malah bertambah gagah. Darah algojo mendidih. Dia
memerintahkan bawahannya untuk meringkus kembali Bujud Keling.
“Aku
pikir, dengan dikirimnya kau ke sini, kau akan mati perlahan. Tapi aku salah.”
Semesat
diikat dan diseret menggunakan kuda hingga ke pelabuhan. Wajahnya disarungi hingga
dua bola matanya saja yang terlihat.
“Kau
akan ikut dalam pelayaran. Kau akan berguna bagi raja.”
Tak
lama berselang, terompet berbunyi. Raja memasuki kapal dan segera memeriksa
kesiapan pelayaran. Pelayaran kali ini sangat jauh. Mereka menuju Malaka. Raja
mengikuti sayembara memperebutkan hati Putri Gaung Alam yang terkenal akan
keanggunan laku dan parasnya.
“Siapa
orang bertopeng itu?” tanya raja kepada algojo.
“Itu
Bujud Keling wahai yang mulia. Dia sengaja hamba bawa sebagai anak buah kapal.”
Karena
bertopeng, Semesit tidak menyadari bahwa Bujud Keling itu adalah saudaranya,
Semesat. Begitu sebaliknya, Semesat tidak dapat menunjukkan diri kepada
Semesit.
“Aku
yakin, Putri Gaung Alam akan memilihku. Karena aku telah memakan burung kebahagiaan,”
gumam Semesit.
Setelah
kapal bersandar di Pelabuhan Malaka. Semesit segera menemui Raja Malaka. Dia
membawakan oleh-oleh melimpah agar Raja Malaka menerimanya sebagai menantu.
“Aku
terima kebaikanmu,” kata Raja Malaka. “Tapi biarlah putriku yang menentukan.
Tunggulah beberapa hari.”
***
Seekor
kucing betina masuk ke geladak kapal. Di lehernya terlilit tali yang membuatnya
tercekik. Dia meminta tolong; menggunakan bahasanya. Tapi semua awak kapal acuh. Dia lalu pergi ke
bilik raja; siapa tahu raja membantu. Tapi dia mendapat perlakuan mengecewakan.
Dia ditendang raja. Bahkan, raja menyuruh algojo menangkapnya.
Dia
pun berlari. Sekencang mungkin. Secepat angin. Hingga menabrak Bujud Keling
yang terkurung dalam kandang.
“Kenapa
lehermu?” kata Bujud Keling. “Kasihan sekali. Kau pasti tersiksa.”
Didekapnya
kucing betina itu, lalu dengan segala cara, Bujud Keling melepas tali yang
melilit leher kucing itu.
“Sana!
Pergilah! Kau bebas sekarang.”
Kucing
itu menatap Bujud Keling sejenak. Dia sepertinya ingin mengetahui siapa
gerangan di balik topeng itu. Lalu pergi.
***
Tiga
hari kemudian, gaung Istana Malaka menggema. Semua pembesar berkumpul untuk
mendengar siapakah orang yang terpilih sebagai suami Putri Gaung Alam. Raja
menyampaikan bahwa orang itu berada di kapal Raja Semesit.
“Dia
bertopeng dan saat ini sedang terkurung dalam kandang,” jelas Raja Malaka.
Raja
Semesit tahu, yang dimaksud adalah Bujud Keling. Betapa kecewanya dia. Kenapa
Bujud Keling? Karena sulit menerima kenyataan, Semesit memerintahkan anak buah
kapal menarik sauh dan segera meninggalkan Malaka. Saat Putri Gaung Alam
mencoba meminta agar pemuda bertopeng itu dilepaskan, Semesit mengatakan bahwa
tidak ada pemuda yang dimaksud. Putri Gaung Alam seketika bersedih, lalu
pingsan.
Di
tengah selat, Semesit memanggil Bujud Keling. Dia ingin tahu siapa gerangan di
balik topeng itu. Ketika dibuka, tubuh Semesit bergidik.
“Bukan!
Kau pasti bukan!”
“Aku
saudaramu wahai Semesit.”
“Tidak
mungkin. Dia di hutan, bukan di sini.”
“Bila
kau perlu bukti. Bukalah pakaianku. Badanku dipenuhi bintik-bintik merah.”
Semesit
memerintahkan anak buahnya memeriksa. Dan benar, badan Bujud Keling dipenuhi
bintik merah.
“Kenapa?”
Semesit bingung. “Kenapa harus kau? Kenapa khasiat burung kebahagiaan memudar?”
“Karena
kau telah menyakiti permaisurimu, wahai Semesit. Sebelum kapal berlayar,
permaisurimu, Putri Linting, menjumpaiku karena penasaran akan sosok Bujud
Keling. Entah kenapa dia lalu bercerita tentang kekecewaannya akan dirimu yang
khianat. Sehingga itu menjadi doa, dan melunturkan tuah burung kebahagiaan.”
“Omong
kosong!” Semesit naik pitam. Dia mencengkram pundak Semesat dan digiringnya ke
pinggir kapal.
“Sebelum
kau lempar aku,” kata Semesat, “aku ingin mendengar bahwa kau mengakuiku
sebagai saudaramu.”
“Tidak!”
jawab Semesit. “Kau bukan saudaraku!”
Semesat
jatuh ke dalam laut. Karena tangannya terikat, dia tidak dapat berenang. Nafasnya
kini tersedak. Perutnya telah terisi air laut. Dia berdoa: “Gusti… sebelum Engkau
mencabut nyawaku, biarkan aku menangis.”
Dari
kedua bola mata Semesat tiba-tiba keluar air mata. Air mata itu bercampur air
laut yang kemudian mendatangkan gelombang pasang nan dahsyat. Kapal Semesit terhempas
ke sana kemari hingga akhirnya karam di Selat Malaka. Tamatlah riwayat Semesit.
Sedang, Semesat selamat dan terdampar di pinggir pantai.
***
“Kau
akhirnya siuman,” kata Putri Gaung Alam, menggenggam jemari Semesat. Semesat
bingung: di mana dirinya? Kepalanya terasa sakit.
“Kau
pingsan selama enam hari,” lanjut Putri Gaung Alam. “Maka itu, jangan banyak
bergerak. Biarkan tubuhmu pulih. Aku akan jelaskan bagaimana kau bisa di sini.”
Putri
Gaung Alam lalu menceritakan perihal kucing yang pernah ditolong Semesat.
Kucing itu ternyata kepunyaan Putri Gaung Alam. Sewaktu Semesat terdampar di
pantai, kucing itu yang memberitahu Putri Gaung Alam, sehingga Semesat cepat
mendapat pertolongan.
“Aku
sudah bicara pada ayahku. Bahwa kau orang yang kumaksud kala itu. Maukah kau
menikah denganku?”
Semesat
terdiam. Dia bertanya-tanya: apakah ini mimpi? Diamati lagi di sekeliling
kamar, lalu jendela, dan dia bisa melihat burung-burung terbang dan bernyanyi
di luar sana.
“Baiklah.
Tapi dengan satu syarat. Kau harus ikut kemana aku pergi. Aku rindu sekali pada
ayah dan ibuku.”
Putri
Gaung Alam setuju. Satu bulan kemudian mereka menikah. Tak perlu berlama-lama,
Semesat segera membawa istrinya menuju Lahat. Raja Malaka memberikan banyak
hadiah kepada Semesat.
“Sampaikan
salamku pada mereka,” pesan Raja Malaka.
Sesampai
di Lahat, semua orang keheranan. Siapa gerangan yang datang membawa arak-arakan
kuda sebanyak empat puluh ekor. Akhirnya, penasaran itu terjawab tatkala Semesat
turun dari tenda bersama istrinya. Mereka tidak menyangka Semesat masih hidup.
Karena bertahun-tahun lamanya, pasukan yang diutus Raja Lahat sama sekali tidak
menemukan jejak Semesat dan Semesit.
“Maafkan
Ayahandamu ini Semesat,” kata raja, setibanya Semesat di hadapannya. “Ayahanda
khilaf. Seharusnya Ayahanda hati-hati mendengarkan Semesit dan menteri busuk
itu.”
Semesat
terharu. Dia menitikkan air mata.
“Apa
yang terjadi, semuanya atas kehendak Gusti. Ananda tidak akan mengungkit itu
lagi. Karena terpenting, ananda bahagia bisa bersua ayah dan ibu kembali.”
Mereka
kemudian saling berpelukkan. Semesat kemudian memperkenalkan istrinya, Putri
Gaung Alam. Bukan main senangnya raja dan ratu melihat paras cantik dan anggun
menantunya itu. Dua tahun berikutnya, Semesat menggantikan ayahnya sebagai Raja
Lahat. Dia menjadi raja yang adil, bijaksana, serta dekat pada rakyatnya.
***
Pada
peringatan sepuluh tahun wafatnya Raja Semesat, sejumlah bekas penambang batu
di Bukit Asam berkumpul di Lahat. Mereka memahat sebuah bukit sebagai pusara
Raja Semesat yang berjasa membebaskan mereka dari ketidakadilan di Bukit Asam.
Dewasa ini, penduduk menyebut pusara itu sebagai Bukit Tunjuk.